Sabtu, 01 September 2007

Andai Kau Tahu, Dirimu Begitu Hebat! (QAWAT edisi ke-29)

Assalamualaikum akhwat IC!
Alhamdulillah, kita akan memasuki TB-4! Hehehe… pasti pada senang semua kan? Ya iyalah, udah di akhir tahun pelajaran gitu lo! Yang kelas XII tinggal menunggu hasil, yang kelas X dan XI, ya… emang sih masih berjuang lagi. Well, tapi ga apa-apa. Cuma emang ga terasa aja, kayaknya baru kemarin kita mengadakan MOS, eh sekarang udah mau naik kelas aja, udah mau punya adik baru lagi. Cepat sekali, ya!
Di minggu “penghabisan” ini, Qawat mau mengetengahkan isu seputar menghargai diri. Bukan narsis, lo! Ya semacam narsis sih, tapi tepat kadar. Narsis yang islami (hah, ada gitu narsis islami? Ngaco aja nih!). Hehehe… maksud dari menghargai diri sendiri itu artinya melihat kelebihan di antara kekurangan yang kita punya.
Emang aneh sih. Biasanya kan orang tuh membicarakan seputar kekurangan diri agar kita berintrospeksi. Eits, tapi jangan salah! Perlu lo, tahu kelebihan diri sendiri.
Perempuan itu punya hati yang lembut, yang ini pasti udah pada tahu. Meskipun dalam kesehariannya kita melihat ada perempuan yang “garang”, namun fitrahnya mereka tetaplah seorang perempuan. Dan ternyata, hati yang lembut ini punya dua sisi yang berlawanan.
Sisi positifnya, kita gampang berempati sama penderitaan orang lain, mudah memaafkan, dan mudah untuk mepercayai orang lain. Pokoknya, gampang tersentuh deh, intinya! Walaupun sebagian dari kita terlihat seperti acuh tak acuh.
Negatifnya juga ada! Nah, ini dia yang ingin Qawat bahas. Itu lo, suka menyalahkan diri sendiri. Waduh, ini emang bad habit yang bad banget. Ga boleh tuh, sebenarnya! Mau tahu kenapa?

Gejala Menyalahkan Diri
Sebagai perempuan, kita dikaruniai sesuatu yang lebih dalam hal kepekaan ataupun segala sesuatu yang ada hubungan dengan hati, karena itu pula ga sedikit dari kita kaum hawa yang mudah sekali merasa bersalah. Bersalah dalam hal apa? Ya… dalam hal apapun , bahkan bukan kesalahan kita, namun kita sering menyalahkan diri sendiri.
Misalnya di asrama, sore–sore baru pulang sekolah kita lagi capek–capeknya tiba–tiba teman sekamar kita pulang dengan muka yang cemberut, terus keesokan harinya juga masih cemberut, kita tentu bingung, waktu dia ditanyai, dia malah tambah cemberut dan diam aja. Wah… tambah bingung kan? Terus tanpa disadari kita langsung bertanya pada diri kita sendiri, nih anak kenapa? Apa salah gue ya?
Nah ini nih… yang ga boleh… kenapa ya? Ya… bukannya ga boleh berempati sama teman, tapi kalo bukan salah kita ya… cukup berlaku tenang dan menghapus segala rasa bersalah tersebut dari diri kita.
Masih ada lagi lo, bentuk-bentuk penyalahan diri kepada diri kita sendiri. Mau tahu lagi, ga?

Membuat Frame Negatif untuk Diri
Nah… yang satu ini sering banget Qawat dengar… apalagi kalo musim TB, UAS, dan kawan-kawannya. Secara ga sengaja akhwat IC banyak yang memberikan frame negatif untuk dirinya sendiri, dengan ucapan, “Gue bodoh banget” atau “GILA… mana bisa gue ngerjain itu, gue goblok banget di bidang itu” atau bahasa inversnya “Bisa lah gw…”, “Gue kan pintar ba… nget”.
Nah, ternyata setelah diadakan penelitian oleh para ahli, memberi gelar buruk bagi diri sendiri, itu berdampak besar bagi mental dan semangat untuk berusaha. Tapi kalau emang ga bisa gimana? Yah dengan cara bertahap kita harus percaya sama diri sendiri bahwa kita itu bisa, secara berproses tentunya, dan kalau pun kita benar-benar ga bisa itu ya kita pun harus haqqul yaqin bahwa kita itu hebat, di bidang lain tentunya. Yah, tinggal kita bicara pada hati kita bidang apa itu?
Selain mencari bidang yang cocok untuk kita tekuni, lebih lanjut kita belajar juga untuk menerima kelebihan dari orang lain. Bagi sebagian orang, mengakui kelebihan, usaha, dan menghargainya adalah hal yang susah. Lo, kok susah? Emang iya, untuk bisa mengakui kelebihan orang lain, kita harus berusaha untuk mengalahkan ego kita sendiri.

Aku Ingin Seperti Dia
Krisis percaya diri yang sering terjadi pada diri kita sendiri juga membuat kita terkadang secra tidak sengaja nyeletuk, “Mau deh kayak diya!” atau ngomong ke orangnya langsung, “Gue pingin deh kayak elo… anggun, tenang bawaannya, dan pendiam”.
Lantas karena kita ingin menjadi demikian yang pada dasarnya bukan kita banget, kita usaha mati–matian, yang awalnya kita ceria dan heboh dengan kata lain gak bertentangan dengan syariat Islam, lalu tiba–tiba kita berubah menjadi si pendiam yang duduk manis di dalam kelas. Wah… justru itu menyiksa diri kita sendiri dan ga heran kalau teman–teman kita nyeletuk, “Tumben… ga berisik?”. Yah pokoknya, selagi apa yang ada dalam diri kita itu baik, nyaman bagi diri kita, dan orang yang ada di sekitar kita, dan itu ga bertentangan dengan nilai–nilai Islam kenapa mesti menjadi orang lain?
Pernahkah kita berpikir, saat kita ingin menjadi seseorang yang kita kagumi karena diamnya dia, dalam hatinya pun mengatakan andai ia bisa seceria kita yang membuat kita mampu membaur dengan siapa saja, maka hanya satu kata BERSYUKUR atas kelebihan dan sisi positif yang kita punya.
So, be yourself aja! Ga ada gunanya tuh, menyamakan sifat yang kita punya dengan sifat orang lain, asalkan sifat kita itu ga melanggar norma-norma yang melingkupi kita.
Kalo perasaan ini terus bermunculan, ingat aja kata-kata Sir Ipik, our lovely history teacher, “Perbedaan itu bagai pelangi. Kalau putih semua, bukan pelangi namanya.”
Subhanallah!

Kita Hebat, Euy!
Hehehe… narsis lagi nih! Deu… boleh dong! Di bagian terakhir ini, Qawat mau menggambarkan betapa jadi perempuan zaman sekarang, ga ubahnya seperti srikandi yang tangguh menghadapi apapun juga. Hohoho… mau bukti?
Pertama, konsistensi kita dalam berjilbab. Bagi Qawat, akhwat IC bisa mempertahankan jilbabnya sampai sekarang dan akhir hayat nanti, baik di dalam maupun di luar IC, merupakan sebuah kelebihan yang ga ternilai harganya. Lebih tepatnya, pengorbanan terhadap beberapa kenikmatan dunia. Jadi, tetap istiqamah ya, sebagai seorang Muslimah… dan STOP menyalahkan diri sendiri! Paling ga, selama kita masih memakai jilbab, kita masih berharga sebagai seorang Muslimah, sebagai seoorang perempuan lebih tempatnya.
Kedua, kesabaran seorang perempuan dalam menghadapi lawan jenisnya. Baik dalam hal yang pekerjaan, maupun… ehem… ya tahulah apa? Hehehe… pada tahu kan artinya? Sebagai partner, kadang-kadang kita suka bertemu dengan partner yang susah diajak kerja sama dan susah buat dinasehati. Untuk urusan hati, kita juga dituntut Supaya bisa mengendalikan hawa nafsu, melalui penjagaan pandangan. Tuh, kita hebat kan?
Ketiga, kalo kita udah jadi seorang ibu nanti, kita pasti bakalan jadi supermom! Why? Hmm… Qawat berani bilang, kalo banyak dari akhwat IC yang ingin mempunyai dua peran sekaligus, menjadi seorang ibu dan seorang wanita karir. Berat banget lo, ternyata menjalankan keduanya. Menjadi ibu rumah tangga, berarti menjadi manager rumah. Ya mengurus anak yang beragam wataknya, mengurus suami, mengurus menu masakan, mengurus kebersihan rumah, dan mengurus orang tua yang telah lanjut usia. Jadi wanita karir? Wah, lebih besar lagi pengorbanannya, tuh! Mengejar cita-cita dan aktif di luar rumah. Kesemuanya itu harus berjalan beriringan. Apa ga hebat tuh, kalo semuanya bisa berjalan dengan baik, walau selalu ada hambatan yang merintangi?
So gals, kita hebat! Ayo, kita mulai menghargai diri kita, mulai saat ini juga! Belajarlah untuk ga terus menerus menyalahkan diri sendiri dan menerima diri kita apa adanya.

Wassalamualaikum!
(Putri Rahmi Mardius)







Intermezzo Sesaat
Lelaki Acuan Al-Quran
Lelaki acuan Al-Quran ialah seorang lelaki yang beriman
Yang hatinya disaluti rasa taqwa kepada Allah SWT
Yang sentiasa haus dengan ilmu
Yang sentiasa dahaga dengan pahala
Yang salatnya adalah maruah dirinya
Yang tidak pernah takut berkata benar
Yang tidak pernah gentar untuk melawan nafsu
Lelaki acuan Al-Quran adalah lelaki yang menjaga tutur katanya
Yang tidak bermegah dengan ilmu yang dimilikinya
Yang tidak bermegah dengan harta dunia yang dicarinya
Yang sentiasa berbuat kebaikan kerana sifatnya yang pelindung
Yang mempunyai ramai kawan dan tidak mempunyai musuh yang bersifat jembalang
Lelaki acuan Al-Quran ialah lelaki yang menghormati ibu bapaknya
Yang sentiasa berbakti kepada kedua orangtua dan keluarga
Yang bakal menjaga keharmonisan rumah tangga
Yang akan mendidik anak dan isteri mendalami agama Islam
Yang mengamalkan hidup penuh kesederhanaan
Kerana dunia baginya adalah rumah sementara menunggu akhirat
Lelaki acuan Al-Quran sentiasa bersedia untuk agamanya
Yang hidup dibawah naungan al-Quran dan mencontohi sifat Rasulullah SAW
Yang bisa diajak berbincang dan berbicara
Yang sujudnya penuh kesyukuran dengan rahmat Allah ke atasnya
Lelaki acuan Al-Quran tidak pernah membazirkan masa
Matanya kepenatan kerana kuat membaca
Yang suaranya lesu karena penat mengaji dan berzikir
Yang tidurnya lena dengan cahaya keimanan
Bangun subuhnya penuh dengan kecerdasan
Kerana sehari lagi usianya bertambah penuh kematangan
Lelaki acuan Al-Quran sentiasa mengingati mati
Yang baginya hidup di dunia adalah ladang akhirat
Yang mana buah kehidupan itu perlu dipertahankani dan dijaga
Meneruskan perjuangan Islam sebelum hari kemudian
Lelaki acuan Al-Quran ialah lelaki yang tidak mudah terpesona
Dengan buaian dunia
Kerana dia mengimpikan Syurga
Disitulah rumah impiannya
Bersama wanita acuan al-Quran
(sumber: internet, dengan perubahan)

Merdeka? (QAWAT edisi ke-28)

Assalamualaikum akhwat IC!
Alhamdulillah, hmm… gimana tanggapan akhwat IC tentang edisi Qawat minggu lalu? Pasti pada kesengsem deh bacanya! Hehehe… ge-er banget nih Qawat! Denger-denger yang ikhwan juga pada baca ya? Ya, insya Allah selembar Qawat (yang terlihat biasa-biasa aja dan ga istimewa ini) bisa menyadarkan dan memberikan hikmah, ga hanya ke akhwat IC aja, tapi juga ke semua orang yang membacanya!
Memasuki bulan Mei yang bakalan penuh dengan TB ini, kita masih diberikan penglihatan, pengetahuan dan kehidupan yang kadang-kadang (apa sering?) kita lupa untuk mensyukurinya. Padahal, tanpa itu semua, kita ga bakalan bisa beraktivitas seperti biasa, lo! Apalagi mengerjakan TB! Hehehe… emang udah tabiat manusia, ingat tuhannya kalo lagi susah aja! Kalo lagi senang, ya gitu deh, suka lupa buat bersyukur. Faktanya, Allah kan bersama kita selalu! Kenapa kita belum bisa mencintai Dia seperti Dia mencintai kita?
Seperti yang udah kita ketahui semua gals, hidup dan mati kita hanya untuk Allah, kan? Inna as-shalaati wa nusukii wa mahyaya wa mamatii lillahi rabbil ‘alamin. Nah, kalo hidup kita hanya untuk Allah, mestinya apapun yang kita lakukan pasti kita tujukan kepada-Nya. Insya Allah, akhwat IC sedang berproses untuk menjadi Muslimah seutuhnya.
Hah, terus apa hubungannya dengan merdeka?

Thaghut
Udah dari sononya, yang namanya manusia tuh pasti punya keinginan buat berbuat baik. Keinginan ini udah ditanamkan sebelum kita dilahirkan ke dunia. Makanya, kenapa setiap bayi yang lahir ke dunia itu dianggap suci. Waktu di dunianya aja, si bayi ketemu sama orang-orang yang kurang baik, terus dia bisa jadi kurang baik juga. Tapi, jauh di dalam lubuk hatinya, dia masih punya bibit kebaikan.
Namun, seandainya niat udah kuat buat melakukan kebaikan demi mendapatkan ridha Illahi, manusia tetap akan mendapatkan cobaan dan rintangan. Salah satunya ada yang namanya thaghut. Nah, apalagi tuh?
Istilah thaghut tuh sering banget lo, gals, disebut-sebut di dalam Al-Quran. Biasanya diartikan sebagai setan. Tapi setahu Qawat sih, makna thaghut tuh lebih luas lagi. Thaghut artinya apapun yang membuat kita berpaling dari Allah.
Contoh konkretnya? Hehehe… ga usah jauh-jauh deh, kalo azan udah berkumandang, terus kita masih nonton atau balik ke asrama Cuma buat menghindari shalat di Masjid, waduh, itu tuh yang namanya thaghut! Padahal, apa yang kita tonton ga lebih penting dari ibadah kita atau kita ke asrama toh ga punya urusan yang betul-betul mendesak. Hehehe… hayo ngaku!
Karena thaghut cakupannya lebih luas, maka hal-hal yang paling terkecil yang dapat membuat kita berpaling dari Allah, ya namanya thaghut juga.
Banyak hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari kita, yang sebenarnya bisa berpotensi menjadi thaghut. Ini nih, yang nanti akan kita bahas.
Kita masuk ke makna merdeka yang jadi title kita minggu ini! Gampang aja sebenarnya, buat menyimpulkan merdeka yang Qawat maksud. Merdeka yang dimaksud adalah bebas dari belenggu thaghut-thaghut itu alias tahu prioritas. Kayak mendengarkan musik itu kan hukum aslinya mubah, tapi kalo telinga disumpal saat azan sih, berabe juga kan? Tahu waktu, tempat dan prioritas dong! Kalo ada azan ya dijawab dulu, namanya juga seruan buat ketemu sama Allah, masa kita cuekkin sih? Allah gitu lo, pencipta kita?

Hal-hal yang Membuat Kita Berpaling
Tahu sendiri kan, kalo dibuat daftar thaghut, pasti bakalan panjang banget tuh daftarnya. Buat menyingkat daftar yang panjang itu, Qawat Cuma mau mengulas dua item aja. Bukan mau pelit bahasan, tapi dana juga dong! Nanti kalo Qawat kepanjangan, difotokopinya juga bakalan lebih kecil lagi. Jangan-jangan, mau baca Qawat aja mesti pakai lup lagi! Hehehe….

Su’udzhan alias Berburuk Sangka
Pasti udah pada tahu dong, kalo salah satu kebiasaan terjelek yang suka diidentikkan dengan kaum hawa itu… gosip! Ghibah! Ngomongin orang! Waduh! Pasti ga bakal jauh-jauh dari itu deh! Mau namanya beda-beda juga inti kegiatannya tetap sama: membicarakan orang lain.
Yah, padahal Qawat lebih yakin lagi, banyak akhwat IC yang udah hapal dalil biar ga ghibah. Ok, biasanya, alasan yang diungkapkan di balik kegitan ghibah itu, paling-paling Cuma mengisi waktu luang atau mencari bahan obrolan yang seru, Supaya ga garing. But, terus terang aja sist, bagaimanapun, kalo ghibah itu ga menghasilkan apa-apa alias Cuma buang-buang waktu aja, mendingan dihindari deh! Sayang banget lo, waktu kita terbuang percuma gara-gara buat menumpuk dosa!
Terus, gimana seandainya kita udah menghindari ghibah itu, tapi tetap aja dapat info dari teman tentang keburukan orang lain? Dari curhatan sobat kita, misalnya? Kita kan harus percaya sama cerita dari teman baik kita itu! Masa teman baik kita bohong sih, sama kita?
Hmm… yang kayak gini nih, yang sebenarnya buat masalah!
Menampung curhatan dari teman sih boleh-boleh aja, asal niat awalnya emang betul-betul buat cari solusi dari masalah yang sedang dihadapi teman kita. Namun, akan beda masalahnya jika kita ikut-ikutan (hanya ikut-ikutan aja lo!) membenci orang tersebut.
Qawat punya cerita nih. Suatu kali, A mendengar bahwa B bertindak buruk dari temannya yang ia cukup percaya. Si A udah su’udzhan aja tuh sama si B. A jadi jutek sama B. B-nya bingung, kok si A jadi super judes gitu, padahal B sendiri ga merasa dia telah berbuat sesuatu yang menyakitkan hatinya A. Nah lo, bingung kan?
Tuh, makanya, Jangan cepat-cepat su’udzhan sama orang gara-gara kabar yang belum jelas, meskipun kabar itu dari sahabat sendiri! Bukan berarti Qawat menyuruh akhwat IC buat ga percaya sama teman sendiri, namun sesungguhnya, kabar yang kita dapat itu ya belum tentu benar adanya (kayak iklan itu lo: ga semua yang lu denger itu bener). Soalnya, teman kita itu juga dapat kabarnya dari orang lain. Siapa tahu ada pembelokan berita sebelum tuh berita sampai di kita. Kalo terjadi penyimpangan berita, wah entar salah-salah jadi fitnah!
Bergosip itu sejenis sama permainan kuda bisik. Kata yang diberikan kepada pembisik pertama, belum tentu menjadi kata yang sama di penerima yang terakhir. Jadi, pembisik dan pendengar yang di tengah bohong dong? Eits, belum tentu! Biasanya, kata yang berubah itu berubah karena ditambahi atau dikurangi. Alternatif lain, saat ada pendengar yang ga menangkap maksud si pembisik, dia akan membuat kata-kata baru, sebab the game must go on! Ga boleh berhenti di tengah-tengah jalan.
Permainan kuda bisik itu jadi alur beritanya, pembisik dan pendengar jadi gossipers-nya, kata yang harus diteruskan jadi gosipnya. Belum tentu para pembawa berita, bisa karena salah persepsi, maka turut melahirkan kata yang berbeda pula.
Intinya, Jangan cepat-cepat su’udzhan dulu! Su’udzhan itu membutakan mata, hati dan pikiran dari cahaya Illahi. Membuat diri kita ga merdeka, terbelenggu dalam persepsi kita sendiri yang faktanya aja masih diragukan. Membatasi kita dalam bergaul dengan teman serta membuat hati kita ga tenang.
Ada yang mau hidup dengan keadaan seperti ini?

Ghazwul Fikri alias Perang Pemikiran
Bukan perang di Palestina, tapi ini lebih dahsyat daripada gempuran tank-tank Israel! Yup, apalagi kalo bukan ghazwul fikri atawa perang pemikiran. Kaget ya?
It isn’t a surprise anymore! Gals, bagi yang masih belum bangun dari tidurnya, ayo bangun dari tidur kalian! Kalian sadar ga, kalo kalian saat ini lagi digempur sama gempuran yang lebih hebat dari saudara-saudara kita di Timur Tengah?
Sesuai dengan janji Allah di Al-Quran, orang-orang kafir itu ga bakalan pernah ridha sama Muslim hingga mengikuti millah (agama) mereka. Sampai akhir hayat mereka, sist!
Bedanya sama zaman Rasulullah dan para sahabatnya, perang yang dilancarkan kali ini lebih halus. Ga pakai pedang, apalagi unta plus pasukan kavaleri!
Lewat propaganda musik, makanan dan mode, orang kafir mulai merusak agama kita. Mereka merusak kita bukan dengan cara yang terang-terangan (meskipun ada juga sih yang kayak gitu, misalnya waktu heboh kartun Muhammad tahun lalu). Lewat tiga hal yang tadi Qawat sebutkan di atas, mereka mulai memasukkan ideologi mereka.
Kalo belum mendengar lagunya My Chemical Romance yang terbaru, waduh, ini orang hidup di zaman kapan ya? Belum pernah makan McD? Mbak, mbak, dari kampung sebelah mana ya? Pakaian Muslimah harus menutupi aurat? Baju dan celana ketat sedikit ga apa-apa dong, yang penting kan menutup aurat dan menutupi pantat?
Weleh, weleh, mungkin ada dari kita yang berpikiran seperti itu saat ini? Your alarm is ringing, friends! Kita udah kena ghazwul fikri! Mesti cepat-cepat dibasmi tuh!
Emangnya, kalo belum dengar lagunya MCR yang terbaru kita bisa meninggal saat itu juga? Emangnya, kalo belum pernah makan McD kita bakal ga makan selamanya? Emangnya kalo pakai baju longgar melanggar aturan dan membuat kita sakit? Ga kan? Terus, kenapa kita terobsesi dengan semua itu, padahal ajaran Islam pun telah sempurna tanpa keberadaan MCR, McD dan baju ketat?
Tanpa kita sadari, gempuran Barat dari segala penjuru yang (katanya) membawa label liberalisme alias kebebasan, malah membelenggu kita dalam setiap aspek kehidupan. Kita jadi ga merdeka buat dengar suara azan karena kita mendengar MCR supaya kita bisa mendapatkan gelar anak gaul. Kita jadi ga merdeka untuk menolong saudara kita di Timur Tengah karena kita dikukung dengan serbuan fast food Amerika. Kita jadi ga merdeka buat menunjukkan identitas Muslimah kita sebab arus mode yang terus bergerak dan menciptakan pandangan bahwa baju ketat itu indah. Lantas, apa yang bisa disebut merdeka, kalo ternyata kemerdekaan yang mereka bawa malah menjauhkan kita dari kemerdekaan yang sesungguhnya, yaitu surga di akhirat?
Renungkanlah. Bukan berarti ga boleh dengar MCR sama sekali, tapi tahu waktu, tempat dan kondisi. Bagaimanapun juga, kita adalah Muslimah masa depan Islam yang menjadi tumpuan umat Islam sedunia. Apa jadinya kalo kita terkena ghazwul fikri saat ini? Bagaimana dengan masa depan Islam nantinya?
Well, renungkanlah!
Wassalamualaikum!

Amar Ma’ruf Nahi Munkar (QAWAT edisi ke-26)

Assalamualaikum akhwat IC!
Alhamdulillah, jumpa lagi di hari Jumat yang penuh berkah ini! Setelah melewati satu minggu yang “berat” (bagi yang kelas XII berat beneran, bagi yang kelas X dan XI… tahu kan “berat”-nya kayak apa? Hehehe…), kita masih bisa berkumpul lagi, buat sama-sama berbagi info tentang dunia keislaman khusus buat akhwat IC yang cantik-cantik! Hehehe… rada gombal sedikit sih! Tapi ga apa-apa ngegombal, yang penting akhwat IC tetap baca Qawat!
Oya, saran, kritik dan artikelnya (syukur-syukur ada yang mau kasih layout juga), tetap redaksi Qawat tunggu dengan tangan terbuka, lo (bonus: senyuman manis)! Ga usah malu-malu! Qawat ada sebagai wadah kalian berapresiasi dalam masalah keislaman. Jadi, bagi yang punya kemampuan seperti yang tadi udah disebutkan, sok atuh, kasih aja ke kita. Kalo dimuat kan lumayan, karya kita terdokumentasi en kita punya kenang-kenangan. Untuk info lebih lanjut, bisa menghubungi anggota Divisi Imtaq yang akhwat. Come on, gals! It’s your show time!
BTW, pasti anak IC udah pada ga asing lagi dong, sama yang namanya dakwah? Istilah dakwah kerap kali disebut sebagai sarana penyebaran dan pengembangan agama Islam. Sama kayak kristenisasi dong? Eits, entar dulu! Kalo kristenisasi kan (yang pernah Qawat baca di media massa) ada unsur pemaksaannya. Kalo dakwah?
Let’s check it out together!

Kembali ke Fitrah Manusia
Akhwat IC yang pintar binti cerdas ini, pasti masih pada ingat dong, sama enam hak seorang Muslim kepada Muslim lainnya? Salah satunya memberi nasehat kan? Nah, itu dia, dakwah itu merupakan manifestasi (aduh bahasanya!) atau perwujudan dari prinsip tersebut.
Secara riil, kalo ada saudara dan saudari kita yang seiman melakukan suatu perbuatan yang menyimpang dari ajaran agama Islam, kita WAJIB BANGET mengingatkan dia, kalo perbuatan itu ga benar, udah menyimpang.
Berlaku kebalikannya, seandainya kita diingatkan oleh teman kita tentang perbuatan kita yang jelek, kita harus menerima hal tersebut dengan hati yang lapang. Terima aja, kalo kita ga sempurna, sebagai manusia normal.
Kenapa terjadi saling mengingatkan seperti itu? Yang pertama, karena itu adalah hak Muslim yang harus ditunaikan oleh sobatnya seiman. Jika ada hak, pasti ada kewajiban, kan? Makanya, bagi yang mengingatkan, hal itu adalah sebagai kewajiban. Yang kedua, karena kita bersaudara. Rasa apa yang harusnya timbul kalo kita bersaudara, hayo? Pastinya rasa memiliki dan rasa sayang. Rasa memiliki sesama saudara agar tetap bersama-sama di jalan yang lurus dan ga terpisahkan dalam berjihad di jalan Allah. Sedangkan rasa sayang supaya saling menjaga, biar ga ada yang jatuh ke jurang dosa.
Lo, untuk pemeluk agama lain gimana? Kita wajib mengajak mereka ga, kalo Islam tuh agama yang benar?
Sebenarnya bukan mengajak, tapi lebih tepatnya mengingatkan. Kan udah pada tahu juga dong, kalo setiap bayi yang keluar dari rahim setiap ibu tuh suci. Dan yang lebih penting, waktu di alam ruh, sama Allah mereka udah diambil sumpahnya, bahwa Allah adalah tuhan mereka. So, sejatinya bayi-bayi itu lahir dengan agama Islam. Orang tualah yang menyebabkan mereka Yahudi, Nasrani atau Majusi. Intinya, kita mengingatkan mereka untuk kembali ke fitrahnya semula, sebelum mereka dilahirkan ke dunia.
Diingatkan boleh. Cuma, caranya yang hasan, yang baik. Coba kita lihat kasus kristenisasi yang semakin marak di Indonesia.
Kristenisasi biasanya terjadi di daerah yang miskin atau di daerah bencana. Kita ambil contoh, kristenisasi yang terjadi di daerah yang kelaparan. Penduduk setempat bakal dikasih makan kalo mereka dibaptis dulu sama ikutan misa di Gereja. Kalo mereka ga ikut, mereka ga bakal dikasih makanan. Makanya, kita juga sering dengar yang namanya menggadaikan iman demi sesuap nasi.
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, punya cara yang lebih elegan dalam berdakwah. Bagi Islam, menolong orang, ya menolong aja, ga usah pake syarat apa-apa. Emang betul, dengan menolong orang, kita juga sekalian menyiarkan Islam. Namun, cara menyiarkannya itu dengan memperlakukan orang yang kita tolong dengan baik, ramah tamah dan lemah lembut. Dengan begitu, secara ga langsung orang yang kita tolong melihat keindahan Islam yang tercermin dari perilaku kita tadi. Kalo orang yang kita tolong masuk Islam karena melihat sikap kita, ya syukur alhamdulillah. Kalo ga, yo wess, ga apa-apa, ga usah dongkol. Niat kita kan lillahi ta’ala tulus membantu orang yang tertimpa musibah. Masalah hidayah itu urusannya Allah. Yang penting bagi kita, kita udah berdakwah dengan cara yang baik dan ga dengan paksaan.

Cara Berdakwah
Ini juga kayaknya udah basi banget. Tapi ga apa-apa, Qawat munculkan lagi supaya bisa me-refresh pikiran kita yang punya hobi lupa ini.

Menjadi Teladan
Menjadi teladan tuh gampang-gampang susah. Lo, kenapa Qawat ga tulis susah-susah gampang? Kalo ditulis susah-susah gampang, nanti akhwat IC bakal membayangkan susahnya dulu lagi! Terus jadi ilfeel. Padahal, kita kan dalam memulai sesuatu harus menumbuhkan jiwa optimis dalam diri kita!
Gampang sebenarnya jadi teladan itu. Asal ada kemauan dan niat di dalam diri manusia kan, semua bisa. Kesusahan alias hambatan, di mana-mana juga ada. Hambatan tuh ada dua, hambatan untuk memulai dan hambatan ketika berproses. Yang Qawat mau bahas di sini Cuma hambatan waktu mau mulai aja, ok?
Hambatan waktu mau mulai. Hmm… kita biasanya males buat mulai sesuatu tuh karena banyak alasan sih. Salah satunya karena ga punya teman seperjuangan. Ga ada yang senasib sepenanggungan, ga ada yang menyemangati buat sama-sama jadi teladan.
Kalo semua orang kayak gini, siapa yang bakalan jadi teladan nantinya? Kalo Nabi Muhammad berpikir kayak kita sekarang, kita ga bakal punya teladan hingga saat ini.
Be a pioneer! Jangan takut dijauhi sama teman, kalo kita berada di tempat yang benar, sesuai dengan tuntunan Islam. Mendingan mana hayo, dijauhi sama teman apa dijauhi sama Allah kekasih kita?

Memberi Nasehat
Hmm… Qawat kayaknya baru bisa sampai pada tahap ini. Hehehe… bukan berarti ga berusaha jadi teladan lo…
Adakalanya kita merasa, banyak sikap yang kurang baik bertebaran di sekitar kita. Ya, kita sebagai manusia yang bernurani, mempunyai teriakan di dalam hati kecil kita. Perbuatan si A ga baik, perbuatan si X ga sesuai dengan ajaran Islam. Namun kadang kala (sering malah), kita kerap kali membiarkan hal itu berlanjut tanpa berusaha untuk mengingatkan.
Alasan yang biasa dikemukakan sih klasik-klasik juga. Diri sendiri belum betul, ngapain kita menasehati orang lain? Nanti, kita dicap sebagai orang yang munafik lagi!
Emang sih, Allah ga suka sama orang munafik. Apalagi sama orang yang ga mengerjakan apa yang ia katakan. Tapi, diam melihat kebathilan di sekitar kita (sementara kita masih mampu bertindak secara nyata), Allah juga kurang senang lo! Lantas, kita harus gimana dong?
Gals, coba kita ambil jalan tengahnya. Ketika kita mengingatkan orang, itu berarti kita juga sedang mengingatkan diri kita juga. Jika pada kenyatannya kita belum berbuat apa yang kita katakan, mulai berusaha untuk mengubahnya sejak saat itu.
Gimana kalo ada yang berbuat sebaliknya. Ada orang menegur kita, tapi dia sendiri ga sadar, kalo kelakuan dia lebih parah dari kita? Kita ga perlu semprot dia untuk introspeksi. Dengarkan aja, kritikan dia buat kita. Setelah selesai, kita bisa balik perkataannya ke dirinya sendiri dan sama-sama berintrospeksi.

Buat Orang yang Merasa
Ada cerita tentang seseorang. Dia melakukan hal yang menyimpang. Teman-temannya yang merasa gerah mulai merasa ga nyaman dengan dirinya. Karena orang ini lumayan perasa, dia tahu kalo teman-temannya itu mulai menjauh darinya. Alih-alih berubah, dia malah bilang, kalo apa yang ia perbuat itu urusan pribadinya. Selama dia ga mengganggu urusan orang lain, seharusnya orang lain juga ga perlu mengobok-obok masalahnya. Nah, caranya gimana tuh, buat menghadapi orang seperti ini?
Menurut Qawat, meskipun urusan pribadi, kalo emang udah menyimpang, ya harus tetap diingatkan kepada si pelaku, perbuatannya tuh ga baik. Misalnya kayak zina. Zina itu kan ga ganggu siapun dan ga merugikan siapa-siapa kalo dilakukan. Dampaknya Cuma dirasakan sama si pelaku. Tapi, kenapa zina tetap ada hadd-nya dalam Islam, bahkan di dalam hadd disebutkan bahwa pelaku zina yang sedang/pernah berkeluarga (termasuk janda atau duda) dirajam sampai mati? Itu salah satu urusan pribadi juga kan? Kenapa hukum Islam berlaku hingga persoalan pribadi?
KARENA ISLAM MENGURUSI SEGALANYA. Sama, kalo ada urusan pribadi yang membuat orang lain ga nyaman, di dalam Islam pelakunya harus ditindaklanjuti, supaya balik lagi ke jalan yang benar.
Lagipula, tadi di atas kan udah disebutkan juga, kalo nasehat itu perwujudan dari rasa sayang sesama saudara, supaya saling menjaga, biar ga ada yang terjerumus. Jika orang merasa gerah dengan apa yang kita lakukan, itu tandanya orang masih perhatian dengan kita. Masih peduli dengan apa yang kita lakukan. Coba kalo mereka diam aja. Apa mau, kita diacuhkan sama teman kita sendiri?
Bagi si pelaku yang ditegur, emang kurang enak juga sih, urusan sendiri kok (rasanya) orang lain ikutan mengatur. Padahal, it’s my life! Terserah kita, mau ngapain aja, asal orang lain ga rugi, ga ada salahnya lagi!
Bagi yang merasa seperti yang barusan Qawat katakan, dipikirin lagi tuh, prinsipnya! Kita kan hidup di IC yang insya Allah, kalo ada yang menegur kita, berarti dia masih peduli sama kita. Beda sama artis-artis di luar yang bakal ditegur sama infotainment kalo punya skandal aja. Dan skandal itulah yang dicari buat menaikkan rating acaranya.
Mumpung masih di IC, kalo ada yang menegur, dinikmati aja, ok? Insya Allah, tujuannya masih baik kok!
Selamat berdakwah!
Wassalamualaikum!

Pulang ke rumah: Apa sih yang Dicari? (QAWAT edisi ke-25)

Assalamualaikum akhwat IC!
Alhamdulillah, Qawat muncul lagi menjelang libur ini (buat kelas X dan kelas XI lo…)! Bagi yang kelas XII justru legi deg-degan nih! Ya iyalah… menjelang UAN gitu lo! Hmm… pasti sekarang lagi rajin-rajinnya belajar supaya dapat nilai yang bagus di UAN! Eh, bagi yang udah dapat kampus… ehem… selamat ya! Alhamdulillah… tapi bagi yang belum atau yang belum keluar pengumumannya, jangan kecil hati dulu! Ingat aja, kalo apa yang kita raih itu, insya Allah sepadan sama apa yang udah kita usahakan!
Sekaligus, Qawat mau minta maaf kalo dua minggu yang lalu Qawat ga bisa hadir sebanyak satu edisi dikarenakan kesalahan teknis. Bener-bener murni kesalahan teknis yang ga diduga-duga! We are so sorry kalo di antara akhwat IC ada yang kecewa. Yah, emang sih. Kerja kita emang masih kurang profe (maksudnya profesional-red.). Mesti banyak latihan lagi, mesti banyak belajar dari pengalaman.
Oya, sama bagi yang kemarin isi angket Imtaq dari MPS… we are very thankful to all of you who fill it! Saran-sarannya udah sampai ke kita dan insya Allah jadi pertimbangan kita menjalankan proker Imtaq ke depan.
Kalo buat Qawat sih… sarannya cukup membangun, lah! Ada yang komentar tentang isi, ada juga yang kasih pendapat tentang layout. Tapi semuanya bagus! Sekali lagi, makasih buat atensinya selama ini. Mudah-mudahan, Qawat bisa makin maju lagi dari semua sisi! Amin….
Pulang? Hmm… siapa sih yang ga tergoda sama yang satu ini? Apalagi yang tinggal di IC! Ga peduli mau siswanya kek, gurunya kek, karyawannya kek, bahkan kakek-kakek sekalipun (lo?) pasti kebelet mau pulang kalo hari libur!
Tiba-tiba, IC, yang tadinya rame dan full sama aktivitas hampir dua puluh empat jam non-stop, berubah jadi tempat yang sepi banget, ga beda sama kota mati kehilangan nyawa. Paling-paling yang masih berseliweran itu ya macamnya kucing dan kawanannya.
Begitu berartinya pulang sehingga banyak di antara kita yang ga mau menyia-nyiakan kesempatan pulang ini terlewat begitu aja, tanpa mendapatkan makna apa-apa.

Untuk Apa Kita Pulang
Masing-masing dari kita punya rumah, tentunya.
Jika setiap anak IC ditanyai, apakah rumahnya berbentuk seperti istana? Yah, pasti pada jawab bahwa rumahnya bukan kastil (ya iyalah… siapa juga yang mau bangun kastil hari gini!). Nah, terus kalo ditanya lagi, emangnya isi rumahnya lengkap banget ya? Semua fasilitas ada? Kalo dipikir-pikir lagi, ga juga! Semua rumah pasti ada kekurangannya. Rumah yang ga ada kekurangannya adanya di mana ya? Di surga kali ya, hehehehe…
Kalo gitu, kenapa sih kita doyan banget balik ke rumah saat reguler or liburan menjelang? Padahal rumah kita kan begitu-begitu aja. Nyaris ga ada yang berubah saat kita pulang. Kalo ada juga, ya paling satu-dua barang. Selebihnya sama. Orang tua kita sama, saudara-saudara kita sama, tetangga kita sama (kalo tetangganya ga pindahan lo!).
Rumah. Kata orang, di dunia ini ga ada tempat berpulang yang lebih baik selain ke rumah. Ungkapan yang lebih puitis lagi ada dalam bahasa Arab: baiti jannati, yang artinya “rumahku surgaku”. Kenapa rumah mendapat tempat istimewa di tempat para penghuninya? Apa kelebihan rumah sehingga ia begitu dicintai dan diharapkan sebagai penenang jiwa pemiliknya?
Satu keistimewaan rumah yang luput dari pengamatan kita adalah, rumah mampu menerima kita dalam setiap kondisi dan situasi, susah maupun senang. Rumah ga pernah mengeluh, saat kita mendapat nilai jelek atau saat kita bersenang-senang di dalamnya dan mengotori dirinya dengan sampah-sampah yang kita buat. Rumah ga pernah ngambek walau kita masuk ke dalamnya dengan wajah cemberut lantaran kita berantem sama teman kita di sekolah. Rumah ga pernah berkomentar yang menyakitkan saat kita berkelakuan buruk.
Andai rumah bisa hidup, apa yang ia lakukan selama ini semata-mata hanya melihat. Bisa dibilang, rumah selalu menerima penghuninya dengan tangan terbuka, bagaimanapun perangainya. Waktu kita mersa sedih misalnya, rumah tetap membiarkan pintunya terbuka dan menemani kita sehingga kita merasa lebih baik dan bisa berdamai dengan takdir kita sendiri. Pada akhirnya, kita bisa melangkah lagi dengan percaya diri dan bisa melanjutkan hidup ini.
Gitu deh, akhwat IC! Intinya, hikmah yang dapat kita ambil dari filosofi (waduh bahasanya!) sebuah rumah adalah penerimaan. Penerimaan untuk menerima kondisi penghuni, setiap saat. Tanpa keluhan, tanpa demonstrasi. Jika rumah bisa bicara, ia pasti bercerita bahwa ia menyimpan seribu rahasia yang ia terima dari setiap penghuninya.
Hmm… walaupun “Cuma” rumah, ternyata filosofi yang dapat kita ambil darinya punya makna cukup dalam. Membuat kita semakin sering bertafakur akan apa-apa yang berada di dunia ini.

Nobody is Perfect! Remember This!
Ketika kita berteman dengan banyak orang, banyak masalah-masalah baru yang timbul karenanya. Bisa karena kesalahan kita sendiri atau karena kesalahan teman kita itu.
Teman kita, ga sempurna dan ga akan pernah sempurna. Layaknya kita, teman kita hanyalah manusia biasa yang juga punya kekurangan. Ini yang harus kita pegang baik-baik.
Namun, kita sering lupa akan hal ini dan bertindak gegabah dalam menghadapi teman kita yang telah berbuat kesalahan yang menyakiti hati kita.
Saat teman kita melakukan kesalahan yang benar-benar membuat kita shock stadium empat (shock banget maksudnya!), banyak di antara kita yang langsung menjauhinya, sebelum mendengar alasan darinya (bahkan, kita ga sudi ngomong sama dia!). Habis, dia jahat banget, menyakiti hati kita, padahal dia tahu, kita ga suka kalo dia melakukan hal itu. Mungkin itu yang ada di benak akhwat IC semua saat pertama kali terkena musibah seperti ini.
Kemudian, yang kita lakukan sungguh jauh dari pertemanan yang dulu pernah kita rasakan. Ngobrol semakin jarang (mungkin Cuma salam di tengah jalan aja, sepintas lalu) apalagi curhat-curhatan, rasanya udah seabad yang lalu deh, kita terakhir kali curhat sama dia!
Duh, akhwat IC pada betah ga sih kalo keadannya begini terus?

Pulang ke Rumah = Bersama Teman
Analoginya gini, kalo teman itu penghuni rumah, maka kita adalah rumah bagi mereka.
Seperti penghuni rumah yang udah diceritain di atas berusan, penghuni rumah itu ga selamanya happy, fun. Adakalanya, dia lagi sial, dia punya masalah. Kelilit hutang, misalnya.
Tapi, apakah sewaktu penghuni rumah itu kelilit hutang, terus rumahnya pergi meninggalkan dia tanpa naungan? Ga kan? Apa yang dilakukan rumah? Ia si rumah tetap aja berdiri di tempat yang sama. Membiarkan dirinya bersama penghuni sial itu. Rumah menerima keluh kesah, sumpah serapah tanpa berkomentar apa-apa. Seakan-akan, yang ingin ia katakan adalah, “Istirahat aja dulu. Keluarkan semua yang ada dipikiran kamu. Aku begini ga apa-apa, yang penting kamu bisa balik lagi dan semangat kamu pulih lagi.” Hmm… what a nice friend, kalo kita betul-betul punya teman yang berkata seperti itu kepada kita di saat kita punya masalah.
Waktu teman kita melakukan hal yang ga kita suka dan membuat kita marah sama dia, ingat-ingat aja prinsip rumah yang tadi. Ya, emang sih, sakit diperlakukan kayak gitu sama teman kita sendiri, apalagi teman baik yang udah bareng-bareng sama kita sekian lama! Namun, tetap membuka pintu hati kita untuk menerima mereka adalah hak yang harus mereka dapatkan kala punya masalah. Justru di sinilah pertemanan kita diuji, apakah benar-benar berteman atau hanya sekedar slogan belaka.
Biarkan mereka terus bersama kita. Dengarkan dulu alasannya, atas dasar apa ia melakukan hal seperti itu. Kalo teman kita punya masalah, malah jangan dijauhi! Harus terus didampingi dan ditemani, biar jalannya ga makin belok.
Lagi-lagi, sakit hati itu wajar. Qawat benar-benar tahu kok, rasanya disakiti hati oleh orang lain. Tapi, kita harus mengesampingkan rasa marah dan sebal itu jauh-jauh dulu. Akal sehat lebih dibutuhkan saat kita sedang menghadapi masalah. Kalo kita menghadapinya dengan emosi, nanti bisa hancur jadinya!
Penerimaan atas teman kita juga sulit. Lagian, setelah teman kita berbuat hal yang betul-betul menyebalkan, masa kita menerimanya Cuma dengan permintaan maaf aja? Nah, mungkin itu lagi yang ada dalam benak akhwat IC.
Fuuuh… tenang dulu, tenang dulu! Semua insya Allah ada solusinya. Dan solusi yang ada insya Allah dapat menyelesaikan masalah kita secara tuntas.
Setelah menerima kembali teman kita (walaupun masih terselip rasa jengkel dan dongkol) dan membiarkan ia memaparkan segala alasan atas perbuatan yang ia lakukan, ada baiknya kita membiarkan dirinya nyaman dulu dengan diri kita kemudian kita menenangkan diri kita. Penting banget lo, membiarkan dirinya nyaman sama kita! Soalnya, kalo dirinya merasa ga enak sama kita, kita ga bakalan bisa menyelesaikan masalah bersama-sama dengan dirinya. Menenangkan diri kita juga ga bisa dianggap sepele. Introspeksi itu perlu, supaya kita tahu, apa yang sedang kita hadapi, susun strategi untuk menghadapinya dan menyusun kekuatan dengan berdoa kepada Allah. Pokoknya, kalo diri kita kalap dalam menghadapinya, aduh… berabe banget deh hasilnya! Percaya deh!
Eh, jangan lupa, hilangkan tuh rasa marah, jengkel, sebal, dongkol, dan lain-lain! Perasaan kayak gitu sebaiknya dibuang aja. Ga guna! Ga ada manfaatnya! Kalo disimpan terus, nanti malah timbul masalah lagi. Ibaratnya, kalo perasaan kayak gitu disimpan terus, kita tuh kayak bawa sesuatu yang busuk ke mana-mana! Bau! Ga enak! Bikin kita ga nyaman! Sebaiknya malah kita menghadirkan perasaan maklum dan maaf dalam diri kita, bahwa teman kita adalah manusia normal yang bisa berbuat khilaf. Bukankah lebih baik memaafkan daripada membalas? Iya kan?
Setelah semua kembali normal, baru deh kita menyelesaikan masalahnya bersama-sama. Insya Allah, setelah semua pihak merasa lega, apa-apa yang kita lakukan dapat lebih mudah kita kerjakan. Semua pihak lega maksudnya, teman kita nyaman karena merasa diterima oleh kita dan kita merasa enjoy didekatnya karena udah memaafkan. Huuuaaah… indahnya dunia, kalo semua orang kayak gini!
Yo, jadi ingat-ingat ya, akhwat IC! Saat teman kita punya salah, jangan ditinggal gitu aja! Kita harus bersamanya, mendampinginya, seperti rumah dan penghuninya tadi!
Jadilah “rumah” bagi teman kita… dan jadikan diri kita sebagai tempat “pulang”-nya teman kita saat susah dan senang.
Selamat berlibur (kelas X dan XI)!
Selamat ujian (kelas XII)!
May Allah with you!
Wassalamualaikum!

Berhasilkah Ibadah Kita? (QAWAT edisi ke-23)

Assalamualaikum akhwat IC!
Alhamdulillah, kita bisa ketemu lagi! Hehehe... di bulan Maret yang membuat kita makin sibuk ini (apalagi kalo bukan GAKIC yang diadakan tiap sore itu), akhwat IC masih diberikan kenikmatan untuk terus menikmati dan merenungi hidup ini, tentu aja dibarengi dengan ibadah dong! Beneran lo, kita tuh bisa dibilang beruntung kalo kita benar-benar menyadari apa hakekat hidup ini. Untuk apa kita hidup dan untuk siapa kita hidup. Coba, berapa banyak orang di luar sana yang mengaku-ngaku dirinya beragama Islam tapi ga mengerti untuk apa ia diciptakan di dunia serta kepada siapa ia akan kembali pada akhirnya. Pokoknyaaa... akhwat IC tuh beruntung, bisa bersekolah di sini. Bisa belajar Islam lebih banyak daripada teman-teman antunna yang lain! Yaaa... walaupun IC ada kekurangannya juga, tapi percaya deh, Allah akan selalu memberikan yang terbaik kepada hamba-hamba-Nya. Hayo, pada yakin ga nih? Insya Allah, ya!
Kalo kita membicarakan prestasi, pasti sangkut pautnya sama keberhasilan. Nah sementara, tolok ukur keberhasilan hidup setiap orang tuh beda-beda, ya ga sih? Pada setuju, kan? Ada orang yang menganggap dirinya berhasil apabila ia telah menyekolahkan anaknya hingga jenjang tertinggi. Ada lagi yang menyebut bahwa yang ia lakukan sebuah prestasi jika ia berhasil meningkatkan taraf hidup keluarganya. Macam-macam, lah! Banyak banget, sih!
Sementara di sisi lain, kita tahu kalo manusia itu ingin berhasil dalam bidang apapun, sejauh yang ia bisa. Kalo bisa berhasil dunia dan akhirat, ngapain pilih salah satu? Hehehe...

Indonesia Now
Waduh, kayak nama acara berita di TV! Rada plagiat, ya? Eh, tapi ini betul, kita mau membahas keadaan Indonesia yang saat ini lagi terpuruk dan ga habis-habisnya dirundung duka karena musibah yang terjadi di mana-mana ini! Hmm... inikah tanda-tanda kiamat udah dekat (bukannya semakin hari kita emang semakin dekat dengan kiamat, ya?)? Wallahualam, friends! Semoga kita bukan umat yang ditakdirkan untuk hidup waktu kiamat. Soalnya, seburuk-buruknya umat itu, yang masih hidup saat kiamat tiba.
Back to the real problem, kita sebenarnya bukan mau membahas musibahnya. Yang lebih tepat, kita mau membahas kondisi Indonesia yang berkenaan dengan sikap para pemeluk agama Islam yang ga lain dan ga bukan adalah mayoritas di sini.
Di Indonesia, setiap tahun, jamaah yang diberangkatkan haji oleh pemerintah (baik ONH biasa maupun plus) itu jumlahnya bisa mencapai jutaan lo, saudari-saudari! Iseng-iseng, kalo lagi musim haji (sayang nih, udah lewat!), perhatikan deh, berapa banyak embarkasi yang dipersiapkan untuk calon haji dan satu embarkasi dalam menampung banyak kloter. Belum lagi, satu kloter itu hanya bisa ditampung sama pesawat yang muatannya banyak itu. Kebayang kan, berapa banyak haji dan hajjah dari Indonesia tiap tahun!
Namun, walaupun banyak dari mereka telah berhaji lebih dari sekali, kenapa Indonesia tetap menjadi salah satu negara terkorup di dunia?
Emang ada hubungannya? Eits, jangan salah! Qawat pikir, antara haji dan korupsi punya korelasi yang cukup nyata kok. Nih, kalo semua orang yang telah berhaji itu benar-benar mengetahui esensi dari ibadah tersebut, pasti sikapnya akan berubah, biarpun sedikit-sedikit. Kenapa? Ya, karena harusnya keimanan kepada Allah bertambah. Berhaji gitu lo, biayanya mahal dan ga semua orang bisa melakukannya.
Lagi-lagi kenyataan ga seindah teori. Ga sedikit orang yang telah pergi berhaji, sikapnya yang buruk sama sekali ga berubah. Ada artis yang telah berhaji, waktu habis dari Mekkah sih bajunya menutup aurat. Tapi, beberapa bulan kemudian, wusss...! Video klipnya, bo! Naudzubillahi min dzalik!
Itulah sebagian kecil potret yang menimpa anak negeri. Bagaimana mereka menjalankan ibadah haji, bukan karena kesungguhan yang nyata, namun semata-mata karena ingin mengejar popularitas. Haji dijadikan sarana untuk lepas dari masalah-masalah yang diungkit-ungkit oleh pers (seperti artis tadi yang naik haji, kebetulan ia sedang tersangkut dengan suatu masalah dan berbalik seratus delapan puluh derajat, dengan memakai pakaian Muslimah dan menanggalkan baju seksinya, tapi hanya untuk sementara. Setelah perkaranya selesai, ia kembali memakai bajunya yang lama).
Padahal, bukan tujuan itu yang Rasulullah maksudkan ketika mengajarkan praktek berhaji, lebih dari empat belas abad silam. Rasulullah menunaikan ibadah haji semata-mata karena Allah, bukan untuk mencari popularitas, apalagi menjadikan haji sebagai pelarian dari masalah.

Simbolisme Agama
Seperti ayat yang telah akhwat IC hapal semua, yaitu Adz-Dzariyat: 56, salah satu guna dari diciptakannya manusia di muka bumi adalah untuk menyembah Allah, atau di ayat itu disebut sebagai ibadah.
Bentuk ibadah kita, juga ditentukan caranya. Ga bisa sembarangan juga, kita beribadah kepada Allah itu. Semua ada aturannya, semua ada caranya. Orang Indonesia kalo soal cara sih jago, hapal di luar kepala malah. Bagaimana tata cara berwudhu yang baik atau apa aja yang harus kita lakukan saat berhaji. Berapa persen dari harta kita yang harus dizakati hingga keutamaan puasa sunnah.
Kita semua tahu itu, gals! Pertanyaan baru timbul dari sana, bagaimana kita bisa tahu ibadah kita itu berhasil apa ga? Apakah kita mesti tahu dulu, berapa perolehan pahala dan dosa kita, baru bisa ibadah kita dikatakan berhasil?
Nope, my friends! Wacana ibadah itu ga sesempit yang kalian duga, Cuma berhubungan sama dosa-pahala, neraka-surga. Ibadah yang kita lakukan sehari-hari itu punya makna luas dan dalam, terkait dengan akhlak kita yang biasa kita terapkan dalam kehidupan nyata.
Sebetulnya, guna ibadah itu sendiri ialah mendekatkan diri kita kepada Allah, ya kan? Contoh kecil, jika ada orang yang tertimpa masalah, ia akan berdoa memohon pertolongan Allah. Nah, doa itu kan bagian dari ibadah serta suatu bentuk usaha kita untuk mendekatkan diri kepada Allah agar kita dikuatkan dan diberi bantuan oleh-Nya dalam menghadapi cobaan tadi.
Dari cerita di atas, akhwat IC dapat mengambil kesimpulan bahwa semakin sering seseorang beribadah, semakin dekat dirinya dengan Allah dan semakin terjaga sikapnya. Sebab, setelah ia lebih dekat dengan Allah, ia akan lebih merasa dilihat oleh-Nya di manapun ia berada. Jadi, ga ada yang namanya coba-coba cari dosa di dalam diri orang yang merasa dekat dengan Allah tadi. Makanya juga, kenapa ada ungkapan “shalat itu tiang agama”, ya karena demikian tadi. Orang yang banyak shalat (shalatnya khusyu’, lo!), akan bisa membangun Islam disebabkan orang tersebut berkarakter mulia, suatu keuntungan yang jelas karena kedekatannya dengan Allah.
Tujuan awal yang baik, kan? Makin ke sini, banyak nilai-nilai Islam yang mulai bergeser, dikikis sedikit demi sedikit oleh pengaruh Barat.
Menurut Barat, urusan ibadah dan muamalah itu ga berhubungan. Ibadah ga boleh mempengaruhi urusan duniawi, hanya ukhrawi aja yang boleh diurus. Pemisahan ini terjadi karena kekecewaan mereka terhadap institusi Gereja pada masa lampau, di mana Gereja turut mempengaruhi keputusan-keputusan yang bersifat zalim yang dibuat oleh raja (revolusi Perancisnya tolong dibuka lagi, ya!). Akhirnya, pemisahan terjadi agar keputusan yang dibuat oleh pemerintah bisa sesuai dengan kemauan rakyat dan ga terkukung sama dalil-dalil yang memberatkan, dibuat oleh Gereja. Mulai saat itu, agama hanya dijadikan simbol belaka.

Islam Emang Keren!
Islam sebagai agama yang sempurna, ga demikian adanya. Islam ga mengenal adanya pemisahan seperti itu, karena kehidupan di dunia adalah tiket kita menuju akhirat. So, kehidupan dunia juga harus baik supaya kita mendapatkan kehidupan akhirat yang baik pula. Di mata Islam, dunia dan akhirat terkait dengan erat, seperti dua sisi sebuah kepingan uang logam.
Cuma, kitanya aja nih, sebagai generasi penerus Islam, malah terjebak dengan apa yang dilakukan oleh Barat tadi. Kita terwarnai oleh pemikiran mereka, lewat idealisme yang mereka bawa (ghazwul fikri). Kita ikut-ikutan gaya hidup mereka, memisahkan urusan duniawi dan akhirat.
Shalat sih shalat. Di Masjid, berjamaah lagi. Tapi ghibah jalan terus, tanpa berusaha untuk mengubah diri. Puasa Senin-Kamis iya, namun mojok alias berdua-duaan tetap terlaksana, seperti ga ada beban. Asmaul Husna hapal di luar kepala, tapi sikap menghargai sesama teman nyaris ga ada, kalo ga bisa dibilang nihil.
Bertentangan kan, dengan apa yang akhwat IC baca semula? Sepertinya, ibadah bagaimanapun ga berefek sama orang-orang ini. Mau shalat sebanyak apapun, ga bisa mempengaruhi hati mereka untuk berghibah. Puasa serajin apapun, ga bisa mengekang nafsu mereka. Mau diperdengarkan sifat-sifat Allah lima kali sehari juga tampaknya ga memperhalus lisan mereka dalam mengomentari teman sendri.
Inilah sebenarnya, parameter keberhasilan ibadah yang kita lakukan. Apabila ibadah yang kita lakukan berhasil, kita semakin dekat dengan Allah dan semakin berat untuk berbuat maksiat. Gampang kan? Ga perlu tahu seberapa banyak pahala kita kalo mau tahu apakah kita berhasil dalam menjalani ibadah kita. Tentu aja, yang Qawat maksud di sini adalah ibadah yang sungguh-sungguh, bukan hanya sebagai simbol peneguh status kita sebagai Muslimah atau untuk mengejar popularitas.
Kalo untuk akhwat IC sih, semestinya ibadah-ibadah yang kita jalani sekarang nih, bisa membentuk akhlak yang baik serta membentuk mental baja dalam menangkis serangan-serangan dari musuh-musuh Islam.
Jangan berleha-leha, kawan! Jalan kita masih panjang! Yuk, mulai benahi diri kita dari ibadah kita. Luruskan niat dari sekarang, lillahi taala, dalam setiap aspek kehidupan. Kalo ghibah, mojok dan ceng-cengin orang itu ga ada sangkut pautnya dengan lillahi taala, ya dijauhi, dong!
Susah untuk terus istiqamah, itu pasti. Banyak cobaan yang menimpa kala kita ingin memperbaiki diri. Semakin sulit untuk terus berusaha menjadi orang baik dalam kondisi tertekan seperti ini (ya iyalah, lha wong setannya makin canggih!).
Keep fighting! Bertahanlah terus berada di jalan yang lurus! Ingatlah pesan Allah bahwa, “Siapapun yang menolong agama Allah, maka ia akan ditolong oleh Allah”. Keep this message, gals! Insya Allah, kita semua dapat melewati masa-masa sulit seperti saat ini. Hehehe... mukanya jangan pada serius gitu, dong! Jangan lupa senyumnya, ya!

Wassalamualaikum!

Orang Tua (QAWAT edisi ke-24)

Assalamualaikum akhwat IC!
Alhamdulillah, Qawat masih bisa muncul lagi di hadapan kalian! Biarpun kita semua sedang sibuk mempersiapkan LINGUISTIC dan BUDAFEST, tapi lagi-lagi alhamdulillah, penerbitan Qawat nggak keganggu sama itu semua. Oya, jangan lupa sama GAKIC juga! Belum lagi, remed-remed dan susulan bagi yang kondisi badannya sempat terpuruk. Hmm… bagi yang saat ini sedang di rumah atau tinggal di asrama karena sakit, kita doakan yuk, moga-moga cepat pulih dan beraktivitas lagi. Sayang banget lho, melewatkan minggu ini tanpa hadir di sekolah!
Orang tua. Apa sih, yang terlintas di benak kalian waktu nama yang satu ini disebut? Kenangan-kenangan dengan mereka? Kemanjaan kita? Kenakalan kita di waktu kecil (atau hingga saat ini)? Rengekan kita yang terlalu banyak kepada mereka? Semua terangkum menjadi satu. Hiks… hiks… sedih juga kalo diulik-ulik kembali ingatan kita. Abis, kita ada di IC sih… jadi kangen sama rumah, deh!
Yah, sebetulnya bahasan tentang orang tua kan udah kita dapatkan sejak SD (bahkan dari TK). Betul ga? Belum lagi sumber-sumber yang kita dengar dari petuah-petuah guru ataupun ceramah-ceramah keislaman yang mengetengahkan konsep birrul walidain. Bosen?
Eits! Jangan buru-buru nge-judge gitu! Secara garis besar sih, obrolan kita kali ini tetap mengacu sama cara berbakti sama orang tua. But, caranya aja yang rada-rada dimodif dikit, disesuaikan dengan umur kita yang sekarang.
Ok, let’s we start! Bismillah..

Ingatkah Dulu?
Yup, sebelum melanglang buana ke tempat lain, Qawat mau membangkitkan memori-memori kalian yang sedang tertidur itu, untuk mengingat-ingat kembali saat-saat waktu kita masih bersama mereka dulu.
Dimulai dari waktu kita baru lahir, berupa daging bernyawa tapi lemah tak berdaya. Ibu melahirkan kita dengan susah payah. Pertaruhan hidup dan mati, yang akhirnya kita, sebagai buah perjuangannnya lahir ke dunia, selamat dengan fisik sempurna. Terus, waktu kita lahir, bapak kita mengadzani kita, sebagai tanda ditanamkannya pendidikan Islam terhadap diri kita. Selanjutnya, saat kita tumbuh besar, banyak hal yang terjadi dengan kita. Kapan kita bisa jalan untuk pertama kali, ketika kita jatuh dan menangis saat bermain, saat kita mengadu ke orang tua kita waktu kita dicurangi oleh teman. Kala kita ogah makan sayur, ngambek ga mau berangkat ke sekolah. Hehehe… ”sedikit” banget kan?
Tapi, di balik semua cerita itu, ingatkah kita semua, kita sering menyakiti mereka. Membuat mereka marah, jengkel, menangis karena kelakuan kita.
Sementara, di sisi lain, doa mereka ga pernah putus dipanjatkan kepada Allah demi anak mereka.
Ya, sisi buruk kita yang membuat orang tua kita marah dan sedih adalah hal yang lazim terjadi diantara hubungan anak dan orang tua. Kayaknya ga ada tuh, anak yang seumur hidupnya, dari bayi hingga dewasa, ga pernah bentrok sama orang tuanya! Namun, seperti orang tua sering bilang, ”marah itu tanda sayang”. Artinya, kalo orang tua ga marah atas apa yang kita kerjakan, tandanya mereka udah ga peduli lagi sama kita.ga peduli lagi sama sikap buruk anaknya.
Kenapa mereka memakai cara marah? Nah, ini nih yang bakal kita bahas!

Semakin Besar, Semakin Jauh
4
4
Nyadar ga sih, kalo semakin kita dewasa, justru kita semakin jauh dari orang tua kita? Maksud jauh di sini bukan jarak secara lahiriah, tapi jarak tak terlihat antara kita dan orang tua. Semakin besar, perbedaan antara kita dan orang tua semakin terasa. Semua ini berawal dari perbedaan usia. Karena beda usia, cara pandang antara kita dan orang tua pun berbeda. Nah, karena cara pandang kita berbeda, maka pendapat kita pun berbeda. Perbedaan pendapat disebabkan banyak hal, misalnya lingkungan tempat kita bergaul. Coba deh bayangin, kalo pergaulan kita di luar rumah tuh beda ama di rumah, pasti… orang tua kita bakalan bingung ngurusin kita. Akhirnya, mereka pengen kita ngikutin kata-kata mereka. Tapi... kita kan punya selera sendiri, yang kadang-kadang ga sesuai sama keinginan mereka. Karena menganggap kitalah yang paling benar, kadang kita melawan mereka, sampai akhirnya bentrok deh ama mereka. Tapi, kalo dipikir-pikir mereka masih baik lho ama kita, buktinya kita masih diurusin kan?

Komunikasi
Kenapa terjadi ketidaksepahaman dan slek yang berlarut-larut dengan orang tua? Semua ini berawal dari kurangnya komunikasi yang terjalin baik antara kita dan orang tua. Misal, kita ga suka orang tua nyuruh kita ikut les piano gara-gara beliau musisi terkenal dan pengen kita ngelanjutin karirnya. Tapi kita ga pernah ngomong kalo kita ga suka. Kita Cuma ngikutin apa yang beliau perintahkan dengan setengah hati, atau bahkan kita malah ngambek, ga mau ngomong 7 hari 7 malam (ada gitu yang tahan?). Ya… gimana mereka tahu kita ga suka kalo kita ga bilang? Yang ada mereka malah bingung ama anaknya dan kalo ga mau ambil pusing ya didiemin aja ampe anaknya baikan. Iya kalo anaknya mau baikan. Kalo ga? Makin parah kan? Itu yang bikin masalah ga selesai-selesai.
Hal lain yang menyebabkan ini terjadi adalah kurangnya rasa terima kasih kita pada orang tua. Gals, tanpa kita sadari, kita emang kadang kurang berterima kasih ama mereka. Dengan segala pengorbanan mereka, kita masih menuntut ini itu. Tanpa berterima kasih atas apa yang mereka korbankan. Padahal, tanpa mereka kita ga bakal ada. Tanpa ridho mereka, kita ga akan jadi hamba yang diridhoi-Nya.
Selain itu, yang bikin masalah ga selesai-selesai adalah kurangnya rasa toleran terhadap keadaan mereka yang semakin tua dan butuh perhatian. Semakin tua, biasanya orang akan kembali menjadi seperti anak kecil. Apa-apa harus diurusin. Kalo ga percaya, coba deh sekali-kali main ke panti jompo. Tapi, Qawat yakin kalo akhwat IC semua pasti dah pada tahu kalo yang namanya orang yang udah tua pasti butuh perhatian yang lebih. Kayak anak kecil. Ada masa-masa mereka cemburu kalo kita lebih merhatiin orang lain. So, sebagai anak yang berbakti, kini saatnya kita yang merhatiin mereka, ngurusin mereka kayak waktu mereka ngurus kita dulu.

Saatnya bersikap dewasa!
Karena sekarang kita dah gede, jadi kita juga harus bersikap lebih dewasa. Orang yang dewasa adalah orang yang bisa menempatkan dirinya pada berbagai keadaan yang ada. Tak mudah menjadi dewasa. Tapi kalo kita ga mulai berusaha dari sekarang, kapan kita mau dewasa? Ntar keburu tua lo! Bisa-bisa kalo kita dah tua, anak kita ga bisa bersikap dewasa lagi ama kita. Emang mau digituin? Hiyy… Qawat mah ga mau.
Bersikap dewasa dalam mengahadapi orang tua bisa dengan beberapa cara, antara lain ialah:
Menyesuaikan diri dengan gaya komunikasi orang tua
Kita masih muda. Masih bisa dan gampang beradaptasi. Cobalah untuk beradaptasi ama orang tua kita. Kalo orang tua kita pengen penjelasan yang detail atas apa yang kita kerjakan, berusahalah kasih penjelasan selengkap mungkin walaupun kita adalah orang yang praktis. Kalo penjelasan kita ga memuaskan, cobalah dengan penjelasan yang lain. Karena orang tua kadang menginginkan penjelasan yang dapat diterima dalam pandangan mereka. Kalo mereka emang ga puas ama penjelasan yang udah kita ajuin terus-terusan, sebaiknya kita jangan langsung bentrok ama mereka. Karena mungkin mereka punya alasan yang tepat atas ketidakpuasan mereka atas penjelasan kita. Untuk menghindari bentrok atau slek itu sebaiknya bersabarlah dan ajak orang tua kita untuk saling sharing dengan halus. Mudah-mudahan mereka mengerti akan apa yang kita inginkan.
Memperbanyak frekuensi berbicara dengan orang tua
Karena orang tua dah tua dan butuh perhatian yang lebih, ga ada salahnya kita merhatiin mereka seperti apa yang mereka inginkan. Toh, sebenarnya ini harus kita lakuin karena mereka dah merhatiin kita hingga sekarang. Salah satu caranya, ngomong! Emang sih, kadang kita bingung mau ngomong apa. Salah-salah , mereka malah sakit hati lagi. Tapi, semuanya harus dicoba. Minimal, sapa keadaan mereka. Walau hanya sapaan biasa mereka senang lho… oh iya, mungkin sekarang akhwat IC udah jarang kan curhat ama orang tua? Nah, kini saatnya curhat lagi kayak dulu. Ya, sekedar curhatan kecil juga ga apa-apa kok. Yang penting kan mereka menganggap kita masih butuhin mereka walaupun kita dah gede. Kalo kita dah sering ngobrol ama mereka. Kini saatnya untuk nyari tahu apa sih yang mereka inginkan dari kita, kalo ketahuan cobalah untuk menyenangkan mereka. Pasti kalian juga ikut seneng kalo orang tua kalian seneng kan? Nah, kalo dah kayak gini kan kita jadi deket deh…
Doa untuk diberi kesabaran
Yup, setelah segala daya dan upaya telah kita coba, kembali kita serahkan semuanya sama Allah tercinta. Karena akhirnya Dia jualah yang menentukan. Kalo emang semua yang udah kita coba gagal, jangan putus asa. Karena mungkin emang belom pas timing-nya. Terus, introspeksi lagi, mungkin ada cara kita yang kurang hasan. Mungkin kita masih kurang ikhlas atau kurang sabar. Dekatkan diri padaNya. Banyak-banyak berdoa sama Allah. Minta dikasih lebih banyak kesabaran, karena emang ga mudah menghadapi orang tua. Perlu diingat, kalo kita minta dikasih kesabaran ama Allah, kita malah bakal dikasih cobaan kesebaran yang banyaaak banget! Karena Allah pengen kita belajar bersabar. Jadi, kalo misalnya cobaannya justru tambah banyak, jangan langsung men-judge Allah ga ngabulin doa kita. Justru Allah sayang banget ama kita. Kalo kita nyerahin semuanya ama Allah, semua akan terasa lebih mudah. Oh ya, kalo kita deket ama Allah, bisa jadi orang tua kita jadi seneng. Orang tua mana sih yang ga seneng punya anak shalih(ah)? Nah… kan makin gampang tuh PDKT kita.
Pokoknya, udah ga jaman lagi deh, kalo kita masih sleek ama ornag tua! Perlakukanlah mereka sebaik-baiknyaselagi mereka ada bersama kita. Jangan sampe nyesel karena penyesalan selalu datang di akhir. Inget wiseword ini; segala sesuatu terasa berharga bila sudah tiada.
Wassalamualaikum!

Kejenuhan (QAWAT edisi ke-19)

Assalamualaikum akhwat IC!
Lagi-lagi, hanya alhamdulillah yang bisa Qawat ucapkan atas nikmat Allah yaitu bertemu kalian lagi, akhwat IC yang keren-keren! Wah, sebentar lagi TB I akan berlalu nih! Gimana, udah maksimal belum kira-kira usahanya buat mendapatkan yang terbaik? Mudah-mudahan sih gitu ya… kalo masih merasa apa yang dilakukan kurang maksimal, terus mencoba dong! Ayo, masih ada tiga TB lagi! Jangan buang-buang kesempatan emas ini! Hehehe…
Ngomong-ngomong soal belajar, kayaknya emang (apa pasti?) dalam belajar semua anak di IC pasti pernah mengalami yang namanya bosan, jenuh dan capek. Jadinya banyak di antara kita yang malas-malasan mengerjakan tugas-tugas, terus malah kebanyakan main sama ngobrolnya.
Hei, tapi tahu ga, kalo rasa jenuh itu bisa disalurkan menjadi hal yang positif! Beneran bisa, asal tahu caranya aja. Jangan akhwat IC kira, selama ini bosan itu Cuma memicu ke-rebel¬-an semata. Kalo orangnya kreatif, justru saat rasa bosan dan jenuh itu melanda, baginya kesempatanlah yang datang. Kesempatan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik, menjadi lebih menyenangkan bagi dirinya. Namun buat orang yang suka mengeluh sih, ya dia bakal cari-cari alasan biar dirinya makin ga betah tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lainnya yang lebih penting (waduh, bahasanya kok ribet banget sih?). Nah, supaya lebih jelas, yuk kita baca bareng-bareng penjelasan di bawah!

Rutinitas >> Kejenuhan
Yep, kejenuhan alias bosan itu identik sama yang namanya rutinitas. Pekerjaan yang kita lakukan berulang-ulang, seakan-akan ga ada habisnya. Sesuai hukum yang kita pelajari di pelajaran Ekonomi, kalo seseorang diberi es krim terus menerus tanpa jeda waktu, lama-lama dia makin ga suka biarpun dia pecinta berat es krim.
Begitu juga yang namanya rutinitas. Pasti pada suatu saat, akan tiba kondisi di mana kita betul-betul ga mau melakukan hal itu tanpa alasan yang ga bisa dijelaskan. Alasan yang pasaran dipakai sih, bilangnya ingin ganti suasana.
Tenang, gals! Jenuh itu fitrah kok! Orang yang paling gila-gilaan belajarnya juga ga mungkin belajar setiap saat tanpa bersosialisasi dengan sesama, misalnya.
Manusia emang diciptakan dari sananya itu senang dengan perubahan, mobilitas dan kedinamisan. Setiap individu pasti akan bergerak menuju ke arah perubahan, ga hanya stuck di satu tempat en jalan di tempat. Cuma, tinggal kitanya aja nih, mau berubah ke arah yang lebih baik apa lebih buruk, itu sepenuhnya adalah kehendak kita.

Plus dan Minus
Tentu aja, ukuran baik dan buruk suatu keputusan itu bukan buat sesaat aja. Contohnya, saat pertama kali menginjakkan kaki di IC (apa sampai sekarang?), sebagian besar dari kita pasti bawaannya ingin pulang terus. Mau pindah ke sekolah negeri yang kita inginkan. Kangen ibu-lah, homesick-lah, ga cocok sama lingkungannya, and so on, and so on! Banyak alasan yang melatari kita untuk kabur dari sini (ehem!). Tapi kemudian kita berpikir, bahwa hasil yang kita dapatkan di IC pasti lebih dari sekolah umum yang kita inginkan. Di IC, ada tematik malam. Di IC, kita tinggal dengan teman-teman kita yang sama-sama egoisnya dengan kita, terus kita belajar bertoleransi. Di IC, saingan kita lebih berat karena anaknya pintar-pintar semua, sehingga kita belajar lebih giat daripada di sekolah luar yang (menurut pengamatan Qawat sih) lebih banyak mainnya. Di IC, ga ada tawuran jadi kita aman buat pulang ke asrama (ya iyalah, mau tawuran sama siapa, coba?). Hmm… coba balik semua keadaan itu menjadi di sekolah umum! Masih banyak untungnya di IC kan?
Minusnya juga ada sih. Ga bebas ke mana-mana, mungkin. Nah, tapi kalo kita mencoba menjadi seorang visioner (orang yeng berpandangan jauh ke depan-red.), percaya deh, insya Allah ilmu-ilmu yang kalian dapat di IC pasti akan bermanfaat buat kehidupan kita kelak!
Sekarang, tergantung kebijaksanaan kita yang menentukan segalanya.
Sekali lagi, rasa bosan itu pasti ada, terselip di antara rutinitas kita. Ga mungkin kita menghindar darinya. Bisa jadi suatu saat, kita benar-benar ingin berhenti dari rutinitas tersebut, padahal rutinitas tersebut sebenarnya bagus buat kita. Nah lo, kalo mood-nya aja udah hilang, gimana mau melakukannya? Jikalau kita dipaksa melakukannya, kita ga beda sama robot yang ga punya hati dan dipaksa melakukan suatu hal yang dia ga mengerti.

Ini Caranya!
Tenang, tenang! Yang namanya manusia, pasti punya seribu satu jalan buat keluar dari hal yang menghimpitnya! Allah juga udah janji kok, di surat Al-Insyirah, kalo kemudahan akan menyertai setiap kesulitan. So, jangan menyerah buat terus melaksanakan rutinitas yang kita anggap baik! Ini nih, beberapa cara yang isa diterapkan buat mengatasi kejunuhan antunna dalam menghadapi rutinitas dalam hidup!

Luruskan Niat
Pasti udah pada jenuh juga kan mendengarkan tips yang satu ini! Hehehe… pasti di setiap apapun yang kita ingin perbaiki dari diri kita, luruskan niat adalah hal yang paling pertama disebut. Emang apa istimewanya sih?
Justru itu! Luruskan niat itu cara yang paling instan dalam menghadapi kejenuhan. Semacam P3K-nya lah (Pertolongan Pertama Pada Kejenuhan)! Saat kita sedang bosan menjalani hidup di IC dengan seluruh remedial yang ga berujung ini (hehehe…), meluruskan niat akan mengembalikan kita kepada tujuan semula, bahwa kita belajar itu lillahi ta’ala. Yang lain Cuma embel-embel aja. Selama kita udah mengusahakan yang terbaik yang bisa kita lakukan kita ga perlu merasa berkecil hati. Toh, apa-apa yang kita lakukan selama ini masih banyak kekurangannya dan masih banyak yang bisa diperbaiki. Allah juga pasti mempunyai skenario yang paling indah dan ga terduga-duga buat hamba-Nya.
Oya, behind the scene-nya Qawat juga pernah lo, mengalami kejenuhan. Namanya ga bisa dihindari, pasti ada aja rasa malas buat mengetik Qawat. Yang ada TB-lah, sibuk-lah, macam-macam deh! Duh, rasanya ingin kabur sekali aja. Eits, tapi ga bisa gitu juga kan? Kalo ga ada Qawat nanti siapa yang bakal kasih akhwat IC info-info lagi, iya kan? Akhirnya, kita meluruskan niat lagi bahwa apa yang kita lakukan itu semata-mata karena Allah dan mengharap ridha dari-Nya, bukan dari siapa-siapa. Alhamdulillah, semangatnya pulih kembali dan bisa melanjutkan Qawat seperti sediakala. Hehehe… akhwat IC pada ga nyangka kan, kalo kita bisa merasakan jenuh juga dalam membuat Qawat ini?
Jadi, kalo akhwat IC udah mulai jenuh dalam menghadapi suatu keadaan, luruskan niat dulu! Setelah itu, kita baru bisa melihat, apa yang kita lakukan itu berguna ga buat tujuan akhir kita, gitu!
Istirahat
Masih jenuh juga? Ada alternatif lain yaitu beristirahat. Istirahat membuat pikiran kita kembali dingin dan dapat menurunkan ketegangan.
Dengan beristirahat dan menghentikan aktivitas yang kita lakukan, kita mempunyai jeda waktu untuk menghilangkan kebosanan, berdasarkan hukum yang tadi Qawat kasih tahu itu, lo!
Makanya, pasti di setiap instansi pemerintah itu ada jatah cuti. Bahkan kita pun, punya hari libur kan? Ga lain dan ga bukan supaya pikiran kita bisa fresh lagi.
Menghentikan pekerjaan sejenak itu perlu banget, lo! Makanya, kenapa workaholic itu sebenarnya ga terlalu baik buat dilakukan. Kerja sih boleh aja, tekun dan giat itu juga perlu. Tapi, kalo sampai melupakan hal-hal lain di luar pekerjaan, hmm… gawat juga ya? Lagian, Allah ga suka sama orang yang berlebihan dalam hal apapun. Yang penting, proporsioanal dalam mengatur segalanya. Seimbang alias balance.
Salah satu fungsi dari beristirahat lainnya adalah, agar kita ga menzalimi tubuh kita sendiri. Tubuh kita tuh seperti mesin, kalo dipakai terus menerus tanpa henti, lama-lama bisa rusak. Nah, kalo di Padang Mahsyar nanti mereka bilang ke Allah kalo kita telah menzalimi mereka, gimana hayo? Ga mau kan?
Istirahat secukupnya aja. Kalo udah pulih, kita bisa lebih konsentrasi bekerja. Cobain deh!

Cari Tantangan
Kebanyakan orang juga bilang kalo apa-apa yang kita lakukan selama ini ga ada tantangannya atau tantangannya udah mulai hilang, jenuh dan bosan itu pasti bakal lebih gampang datang. Bagi yang merasa kejenuhannya disebabkan oleh ini, ada baiknya cari tantangan baru yang ga pernah kita coba sebelumnya. Selain dalam rangka cari suasana baru, mencoba tantangan juga menguji kita.
Misalnya, kita jenuh selama ini kalo apel telat melulu. Padahal, banyak ativitas kita di pagi hari yang dapat kita kerjakan di malam hari, seperti membereskan buku atau menyetrika seragam. Boleh tuh tantangannya diaplikasikan dengan mengubah atau menukar urutan kegiatan kita. Menyetrika seragam dan membereskan buku jadi di malam harinya. Kalo berhasil, berarti bisa menjadi rutinitas baru yang lebih baik, dengan mebuat kita jadi ga telat apel.
Eh, jangan lupa! Mencoba tantangan juga harus diarahkan ke arah yang positif lo! Jangan sampai malah memperburuk kepribadian kita!

Tambah Wawasan
Kalo semua cara di atas udah akhwat IC lakukan, mungkin masih ada satu yang kurang, yakni menambah wawasan! Lo, emang bisa menambah wawasan itu mengurangi kejenuhan?
Bisa dong! Hehehe… asal ada niat buat mengubah kondisi kita yang jenuh jadi bersemangat lagi!
Consol (contoh soal) lagi! bagi orang yang tinggal di Jakarta, kemacetan itu membosankan! Tiap hari dan tiap tempat pasti bakal macet kalo kesiangan barengkat dari rumah sedikit aja. Selain itu, macet tuh bisa buat kita tambah frustasi, bikin pusing, stress, wuiih… banyak lagi deh! Waktu yang terbuang untuk bermacet ria juga kan ga sedikit, apalagi buat para eksekutif-eksekutif muda itu!
Bagi yang penuh dengan inisiatif sih, bisa cari-cari info-info tuh tentang jalan-jalan tikus mana yang bisa ditempuh. Yang lebih kreatif, bisa cari tebengan bareng teman-teman! Kan enak tuh, saat orang lain lagi menyupir, bisa tidur dulu di belakang, hehehe…

Hmm… jadi intinya, jangan pernah menyerah sama keadaan! Saat kita sedang jenuh atau bosan di suatu tempat, yakinlah bahwa pasti ada jalan keluar! Jangan patah semangat buat cari solusinya! Mudah-mudahan apa yang Qawat beri hari ini bisa bermanfaat bagi kita semua!
Wassalamualaikum!

Nikmat Allah yang Terbesar (QAWAT edisi ke-18)

Assalamualaikum akhwat IC!
Alhamdulillah, kita masih diberikan kemurahan oleh Allah,
kemudahan oleh Allah,
untuk kembali menikmati Qawat di hari Jumat.
Coba akhwat IC renungi,
sering kita berucap “alhamdulillah”.
Namun apalah artinya?
Mensyukuri nikmat Allah-kah?
Tapi nikmat Allah yang mana?

Alhamdulillah, alhamdulillah.
Artinya segala puji bagi Allah.
Diungkapkan ketika kita merasakan nikmat Allah,
ketika kita merasa dekat dengan-Nya,
ketika kita merasa diperhatikan oleh-Nya,
di antara ratusan juta penghuni alam semesta-Nya yang begitu agung.
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Begitu banyak hal di dalam hidup kita yang patut untuk disyukuri.
Umur kita,
kesehatan kita,
kepintaran kita,
harta kita,
jasmani kita.
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Namun di antara sekian banyak nikmat Allah itu,
pernahkah kita berterima kasih kepada-Nya?
Menunjukkan cinta kepada-Nya,
seperti Ia menunjukkan cinta-Nya kepada kita,
setiap hari, jam, menit dan detik?
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Ah, tapi walaupun kita tahu apa yang kita miliki sekarang adalah fana belaka,
hanya milik Allah
dan pasti akan kembali kepada-Nya,
seringkali kita lupa,
tidak rela dan tidak ikhlas,
jika nikmat Allah yang fana diambil sekarang.
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Jika kita saat ini ditanyai,
apakah kita siap untuk mati, apakah kita siap untuk menyambut maut?
Pasti kita akan menjawab,
belum, belum siap.
Amalanku belum banyak,
dan aku belum siap untuk menghadapi siksa kubur.
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Jika kita diberi sakit yang berkepanjangan seperti Nabi Ayub saat ini,
Pasti kita akan mengeluh dan menggerutu,
pekerjaanku masih banyak,
mengapa aku jatuh sakit?
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Jika kita saat ini diberi oleh-Nya nilai TB di bawah NK saat ini,
Pasti kita akan kecewa.
Mengapa nilaiku tidak sebagus yang lain?
Mengapa nilaiku yang terendah di antara yang lain?
Mengapa Engkau begitu tega memberikan nilai yang begitu kecil padaku?
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Jika kita saat ini hidup di IC dengan uang saku pas-pasan dan terbatas,
Pasti kita akan memberengut,
membayangkan kehidupan kawan-kawan kita,
yang setiap minggu diberikan uang saku.
Lalu kita berkata,
mengapa rezekiku terlalu sedikit?
Mengapa aku tidak punya barang seperti miliknya?
Mengapa Engkau menjadikan kehidupanku begitu sulit?
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Jika kita melihat teman kita yang lebih cantik kemudian kita bercermin saat ini juga,
Pasti kita akan cemberut.
Membuat wajah yang seharusnya cantik menjadi tidak cantik.
Pasti kita akan berkata begini,
Mengapa mukaku seperti ini?
Mengapa aku tidak secantik dia?
Atau saat kita melihat betapa tidak proporsionalnya tubuh kita,
keluarlah dari mulut perkataan seperti ini,
Mengapa Engkau tidak menciptakan aku dengan tubuh tinggi?
Mengapa Engkau menakdirkan aku begitu gendut?
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Segala puji bagi Allah.
Yang telah menurunkan air untuk menghidupkan negeri yang mati.
Yang telah menciptakan lebah untuk menghasilkan madu.
Yang telah memisahkan susu yang bersih dari darah dan kotoran.
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Lihatlah, begitu sempurnanya alam dunia ini tercipta.
Air tidak pernah mengeluh,
mengapa dalam siklusnya ia harus masuk ke selokan.
Lebah tidak pernah cemberut,
menghadapi kenyataan bahwa ia harus menciptakan madu,
dan madu ciptaannya itu diambil oleh manusia.
Sapi pun tidak pernah memberontak,
saat ia diperah dan diminum susunya oleh manusia,
dan manusia yang meminumnya malah menghancurkan alamnya, tempat tinggalnya.
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Betapa ikhlasnya mereka.
Selalu memberi, tanpa mengharap imbalan apa-apa,
dari manusia.
Satu imbalan yang mereka minta,
yang harus terus ada,
yang harus terus mengalir.
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Mereka hanya butuh cinta.
Ya, hanya itu.
Cinta dari Allah yang paling hakiki, abadi.
Tidak akan lekang karena panas,
tidak akan lapuk kala hujan.
Semua bertasbih menyebut-Nya,
Dia yang Maha Pengasih,
Maha Pemurah,
Maha Penyayang.
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Bagi mereka,
tak jadi soal apabila madu mereka diambil.
Bagi mereka,
tak jadi masalah bila susu mereka diperah.
Bagi mereka,
bukan musibah saat tubuhnya rusak, bersatu dengan kotoran di selokan.
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Itulah yang harus kita kejar, kawan.
Nikmat yang terbesar, yang abadi.
Cinta kita kepada-Nya.
Melakukan apapun untuk menggapai-Nya,
seperti air, lebah dan sapi.
Bukankah mereka melakukan semuanya karena perintah Allah,
dan mereka tidak pernah protes sama sekali?
Alhamdulillah, alhamdulillah.
Jadikanlah nikmat yang fana di dunia ini,
sebagai titian untuk menggapai nikmat yang sebenarnya.
Sebab, jika kita telah mencintai Allah,
Allah akan mencintai kita.
Kita menjadi berserah diri kepada Allah,
dan kita percaya,
bahwa tidak akan Ia memberikan sesuatu yang buruk,
kepada seseorang yang dicintai-Nya.
Seseorang yang taat kepada-Nya.
Seseorang yang rindu dengan-Nya.
Seseorang yang tidak menduakan-Nya.
Seseorang yang selalu mengingat-Nya,
bertasbih, berzikir dan memohon ampunan-Nya,
baik dalam keadaan berdiri, duduk atau berbaring.
Alhamdulillah, alhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Segala puji bagi Allah,
segala puji bagi Allah, tuhan semesta alam.

Wassalamualaikum!

Teguh Pendirian (QAWAT edisi ke-16)

Assalamualaikum akhwat IC!
Alhamdulillah, ga terasa ya, udah masuk minggu ketiga di semester genap ini! Pasti udah pada balik ke kegiatan rutin seperti biasa, kan? Hehehe… oya sebentar lagi kita bakal memasuki minggu TB I lo! Bagi yang kemarin NK-nya banyak, ayo kita sama-sama berjuang buat mengurangi NK kita di semester ini! Jiayou (halah!)!
Nah, mumpung masih baru memasuki rutinitas kembali, Qawat mau kasih bahasan yang menarik nih! Mungkin sebagian akhwat IC pada bertanya-tanya kali ya, emang apa yang menarik dari teguh pendirian itu? Emang sih, kelihatannya sepele. Tapi seperti kata guru kimia kita, “Jangan pernah meremehkan yang lemah!” Teguh pendirian itu yang seperti itu, kecil namun bermakna dalam kehidupan kita. Coba kalo kita ga berteguh pendirian, kita bakalan gampang dipermainkan sama orang lain dan gampang terombang-ambing dalam menyikapi arus zaman yang semakin menjadi-jadi.
Lantas timbul pertanyaan, teguh pendirian seperti apakah yang patut kita pertahankan? Kalo apa yang kita pertahankan ternyata salah, apa yang harus kita lakukan? Gimana kalo yang kita pertahankan itu berbeda dengan orang-orang di sekeliling kita? Apakah kita harus berubah haluan dan mengikuti gaya mereka? Jika kita dijauhi oleh mereka gimana? Hehehe… penasaran, kan? So, pantengin terus Qawat dari awal sampai akhir, oke?

Adat Kita, Punya Kita
Sekarang, kita mulai bahasan kita ini dari esensi penciptaan manusia (waduh, berat banget nih bahasanya!). Seperti yang udah kita ketahui dari jauh-jauh hari sebelum Qawat ini terbit, manusia itu diciptakan berbeda-beda; ga ada yang sama biarpun sama-sama anak cucu Adam dan berspesies Homo sapiens. Semua punya ciri khas masing-masing, meskipun mereka adalah anak kembar yang secara fisik bagai pinang dibelah dua. Yang ini pasti dong udah pada mengerti?
Karena berbeda-beda itulah, maka ga ada orang yang isi kepalanya sama. Ya, ya… walaupun di Biologi kita belajar bahwa otak kita itu dibentuk dari seperangkat alat yang sama, tapi karena Maha Kuasa Allah yang sangat keren, maka apa yang kita hasilkan dari otak tersebut bisa beda dari orang lain. Contohnya kalo kita lagi mengerjakan Matematika atau Fisika, meski jawaban kita sama teman kita sama namun bisa diperoleh dari cara yang berbeda dan pola yang berbeda. Subhanallah!
Perbedaan cara pandang dan pola pikir itu disebabkan karena banyak faktor; umumnya lingkungan, karena lingkunganlah yang membentuk kita menjadi kita yang sekarang. Bagaimana ia diperlakukan oleh lingkungan sekitarnya, akan direspons lewat cara berpikirnya. Kalo anak kecil sewaktu kecil selalu dibentak-bentak, ga mustahil kelak ketika ia telah dewasa bisa menjadi pemarah juga, gitu lo!
Dari cara pandang dan pola pikir inilah yang akan menyebabkan munculnya persepsi yang berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain dalam menyikapi masalah yang sama. Kalo si A bilang X, mungkin B bisa bilang Y dan si C bakalan ngomong Z.
Cikal bakal sikap teguh pendirian lahir dari sini. Teguh pendirian bisa diartikan sebagai sikap yang memegang secara kuat apa-apa yang kita anggap benar.
Akan tetapi (lagi-lagi!) karena setiap orang itu ga sama dalam pola pikir dan kepentingan, maka acuan kebenaran seseorang itu ya beda juga alias ga sama.
Hah? Jadi acuan yang bagaimana dong yang bisa kita pegang sebagai pegangan kebenaran?

Agama, Diri Sendiri dan Masyarakat
Yang pertama yaitu agama. Sebagai umat Muslim, agama Islam yang kita anut dengan kitabnya Al-Quran merupakan pegangan kebenaran mutlak yang ga bisa dibantah. Semua lini kehidupan dibahas di sana dan kita harus mempercayainya, karena kita beriman bahwa Al-Quran adalah wahyu Rasulullah yang dikirim langsung dari Allah lewat perantara malaikat Jibril. Al-Quran yang membahas seluruh aspek kehidupan, tentu ga membahas seluruh masalah secara mendetail. Maka lahirlah hadits-hadits yang dirawi oleh imam-imam terkemuka dengan pemberlakuan sistem sanad-matan agar menjaga keasliannya. Selain itu, masih ada fatwa-fatwa ulama yang dikeluarkan berdasarkan ijtihad.
Gals, hidup mati kita ini kan untuk Allah, ya ga sih? Jadi, setiap apa yang kita lakukan tiap hari itu dikembalikan lagi kepada Allah. Apakah apa yang kita lakukan itu untuk menambah kedekatan kita kepada Allah? Apakah apa yang kita pertahankan itu Allah sukai dan sesuai sunnah serta tuntunan Rasululullah?
Ini dia, kalo misalnya sesuai, ayo perteguhlah pendirian kita! Sebab, kita sebagai Muslimah wajib untuk istiqamah, mempertahankan jilbab kita, misalnya.
Selanjutnya yaitu mengacu kepada diri sendiri. Kok diri sendiri? Iya, soalnya yang tahu itu baik dan benar buat kita kan kita sendiri. Orang lain mana tahu sama kepentingan dan kebutuhan kita?
Mari kita berandai-andai. Misalnya kita udah buat jadwal buat hari Minggu pas reguler akhwat. Coz kita di asrama aja, maka kita merencanakan untuk belajar Kimia, mencuci baju dan menyetrika. Lalu, datang teman kita mengajak kita untuk nonton. Terus, tanpa berpikir panjang, kita ayo aja tancap gas meninggalkan kamar. Padahal, sebanyak itu pekerjaan yang akan terabaikan dan kita tahu pekerjaan-pekerjaan tersebut harus dilaksanakan segera. Kalo ga, kita bakal keteteran di minggu selanjutnya. Ga belajar Kimia, padahal hari Seninnya ada TB terus ga mencuci baju padahal baju kotornya udah dua ember dan ga menyetrika padahal kita butuh seragam untuk sepekan ke depan.
Nah kan? Yang tahu sesuatu itu baik dan benar untuk kita itu ya kita-kita sendiri. Teman kita mah, kalo mengajak nonton juga ajak-ajak aja, ga kepikiran sama apa yang udah kita rencanakan. Coba kalo kita mau mengorbankan ajakan nonton itu. Emang sih, rasanya ga enak karena ditinggal sama teman dekat. Namanya berkorban, Semua pengorbanan itu butuh konsekuensi. Namun, yang kita dapatkan juga insya Allah mendekati atau sama dengan prediksi kita. Kita jadi ga remedial dan belajar menjadi lebih tenang sebab pekerjaan domestik telah selesai kita kerjakan. Hidup ga diburu-buru waktu dan kita bisa mengatur waktu dengan baik. Bisa jadi, kala teman kita yang nonton itu sibuk dikejar deadline tugas, kita tinggal tidur atau bisa mengerjakan hal lain yang lebih bermanfaat.
Terakhir adalah acuan untuk kepentingan bersama masyarakat. Sebenarnya, acuan ini lebih pantas ditujukan kepada pemimpin-pemimpin masyarakat. But, buat dijadikan pelajaran bagi kita ga masalah sih! Contoh yang paling konkret (bukan kornet, hehehe…) adalah di IC, lewat pukul sepuluh malam, dimohon untuk ga berisik. Bagi sebagian oknum yang suka akan keberisikan tersebut (suka ngobrol dan ketawa keras-keras) mungkin rada menderita. Tetapi, lebih banyak orang yang menginginkan ketenangan pada waktu tersebut sebab banyak yang tidur, salat Tahajud dan belajar. Jadi, walaupun keputusan itu ga disukai oleh beberapa oknum, hal itu baik dan dianggap benar untuk dijalankan karena menyangkut kenyamanan umum, gitu!

Teguh Pendirian ≠ Keras Kepala
Akhwat IC yang smart and gaul (iya apa? Hehehe…), asal akhwat IC tahu aja, teguh pendirian itu ga sama dengan keras kepala. Yang Qawat maksud di sini itu bukan keras kepala yang positif, tapi keras kepala yang negatif.
Seperti kalo ada orang yang udah jelas-jelas terbukti bahwa apa yang ia pertahankan itu salah tapi tetap aja ngotot dan malah cari-cari alasan yang kurang logis dan bijak dalam menghadapi “kekalahannya” tersebut. Orang-orang di sekitarnya pasti langsung ga suka lihat dia dan jadi ga respek sama apa yang dia perbuat. Gimana mau respek, kalo dia mainnya ga sportif, maunya menang sendiri, ga mau dengar pendapat orang lain yang mungkin malah bisa membantunya menjadi lebih baik lagi.
Yah, tapi namanya orang susah dinasehati, dia malah mencari pembenaran atas kesalahan yang dia perbuat itu. Kalo seperti itu, gimana orang ga males buat menegur dia di lain waktu? Orang yang tadinya perhatian ke kita akan menjadi ga perhatian karena kita terlalu sering membuat dalih dan alasan-alasan yang ga perlu serta Cuma buang-buang waktu.
Instropeksi dirilah yang memegang peranan penting dalam memadam gejolak ini. Dipikirkan lagi deh tuh, apakah tindakan yang kita bela mati-matian itu udah benar atau belum? Apakah kita benar-benar mempunyai alasan yang cukup kuat untuk mempertahankan hal tersebut lebih jauh? Apa yang akan terjadi kalo kita tetap berteguh pendirian terhadap sikap itu? Tanyakan pertanyaan tersebut pada nurani kita, jangan pada nafsu sesaat doang! Dipikirkan baik-baik dengan hati yang jernih dan lapang juga jangan lupa berdoa. Insya Allah bakalan dibantu oleh Allah.
Jika kita merasa apa yang kita pertahankan itu benar adanya, kita ga usah ragu! Inilah saatnya untuk berteguh pendirian terhadap yang kita pegang sendiri walaupun mayoritas orang menentang kita. Keep istiqamah, gals! Sulit sih, tapi seru! Bayangkan, gimana kita bisa survive padahal pendukung kita sangat minim! Mirip Tarzan kan? Hehehe… maksud Qawat, Tarzan kan tinggal di hutan belantara, di mana ga mungkin ada manusia yang bisa bertahan hidup di antara binatang-binatang buas. Pada ceritanya, Tarzan bisa-bisa aja tuh bertahan, bahkan dia bisa menaklukkan makhluk-makhluk besar seperti gorila dan singa. Kita juga harus bisa kayak Tarzan, mempertahankan pendapat kita di antara orang-oarang yang ga setuju sama kita. Bahkan kalo bisa, kita yang membuat mereka “takluk” terhadap kebenaran yang kita pegang (sesuai dengan agama tentunya).
Kalo salah gimana dong? Kan gondok tuh? Rasanya mau ngumpet aja, kan malu banget lagi!
Santai! Saat kita bersalah, akui aja! Jangan takut malu, kan pakai baju ini (hehehe…). Udah fitrahnya lagi, manusia itu tempat salah dan dosa. Justru kalo ga pernah salah, bukan manusia namanya! Waduh, patut dicuragai tuh, itu makhluk apaan!
Tapi bukan berarti karena kita tempat salah terus kita berleha-leha aja tanpa ada perbaikan ke arah yang lebih baik! Ingat-ingat lagi ya, akhwat IC! Menjadi lebih baik adalah KEWAJIBAN seorang Muslimah sejati.
Pesan Qawat yang terakhir: percayalah pada diri kita sendiri tentang apa yang kita anggap benar! Be yourself then let your soul speaks what do you want!

Wassalamualaikum!

kecil dan Bermanfaat (QAWAT edisi ke-17)

Assalamualaikum akhwat IC!
Alhamdulillah, di musim hujan yang telat datangnya ini kita masih bisa bersua kembali di edisi Qawat yang ketujuh belas! Idih, ga nyangka kan? Iya sama, Qawat juga ga sadar udah banyak edisi yang Qawat keluarkan untuk memandu akhwat IC sekalian dalam rangka mencapai cita-cita kalian yaitu menjadi wanita salehah dunia akhirat (amin…). Tapi percaya deh, Qawat ga bakal bosen kok ketemu dengan kalian dan menginformasikan hal yang bermanfaat bagi kalian semua! Bagi yang mau kasih kritik dan saran, ga usah ragu, ayo kasih aja ke kita, redaksi Qawat. Mau kirim artikel juga boleh, kalo menurut kalian ada artikel yang harus diketahui oleh semua akhwat IC! Kita terbuka banget kok! So, jangan malu-malu kucing gitu dong! Ditunggu nih, masukkannya!
Musim hujan itu ya sama kayak musim banjir. Rumah-rumah tergenang, harta benda rusak. Duh, Qawat miris deh lihat yang seperti itu. Akhwat IC ada yang rumahnya kena banjir ga? Qawat yakin, walaupun akhwat IC semua menginginkan sekolah ini kebanjiran (biar libur maksudnya! Emang Qawat ga tahu? Hehehe…) dan kita dipulangkan ke rumah, namun pasti ga pada ridha kalo rumahnya sendiri kebanjiran. Hehehe… karma tuh! Makanya, jangan berharap yang jelek-jelek terjadi sama IC! Biar IC begini, tapi ini kan rumah kalian juga. Ya, kita berdoa aja lah, moga-moga IC dan rumah kita ga kebanjiran! Adil kan?
Qawat sih bukan mau membahas tentang banjir. itu Cuma intermezzo aja (wah, intermezzo kok panjang banget!). Qawat mau menurunkan masalah tentang amalan baik. Nah, bahasannya cukup jauh kan, dari banjir?
Seperti yang semua akhwat IC ketahui, semester genap tuh puncaknya seluruh perjuangan. Kelas X dan XI bekerja keras buat menyukseskan acara-acara proker OSIS serta naik kelas dan kelas XII berjuang untuk mendapatkan PT yang diidamkan. Biasanya nih, karena saking konsentrasinya ke pekerjaan, amalan-amalan baik sering kita lupakan begitu aja dan makin meluntur di akhir semester genap. Ngerti sih, sibuk emang. Mau menambah amalan baik, tapi waktunya full, ga ada yang kosong.
Nah, tapi sebagai Muslimah kita kudu lebih baik dari kemarin! Untuk itu Qawat mau kasih tips amalan-amalan baik nan kecil serta ga menyita waktu! Mau tahu?

Meluruskan Niat
Bagi yang baca edisi Qawat ketiga belas (yang mana tuh? Itu lo, yang judulnya “Dan Atid pun Menangis (I)”), waktu bangun pagi-pagi, sang tokoh langsung ngibrit ke masjid karena takut dapat poin! Hmm… kira-kira, yang kayak gitu perbuatan baik ga sih?
Waa… it’s a big no-no, gals! Masak kita ke masjid karena poin sih? Emang orientasi hidup kita poin shalat berjamaah? Salah atuh, yang benar itu orientasi hidup kita hanyalah ke Allah Azza wa Jalla only. Poin shalat itu diadakan buat MENDIDIK kita BUKAN TUJUAN UTAMA kita.
Itulah gunanya meluruskan niat. Sewaktu kita memulai hari, luruskan niat bahwa apa yang kita lakukan seharian penuh hanyalah untuk mengharap pamrih dari Allah. Lagian, akhwat IC kan udah pada tahu semua, kalo apa yang kita lakukan itu segalanya bergantung pada niat awal semula. Kalo semuanya berpulang pada niat, saat kita tersesat kita bisa balik karena punya pegangan awal.
Contohnya nih, ketika ngobrol bareng, tanpa sengaja kita ikut-ikutan ghibah. Karena dari pagi kita berniat untuk melakukan semua hal hanya karena Allah semata, kita jadi sadar dan menjauhi forum ghibah itu. Kalaupun ga sadar alias khliaf, insya Allah kita masih punya pahala sebab niat baik kita dicatat sebagai pahala oleh Rakib.
Keuntungan lain dari meluruskan niat adalah kalo sejak awal kita berniat untuk hidup di jalan Allah, maka ketika maut menjemput, insya Allah kita sedang berjuang di jalan Allah. Masih ingat kan, sama cerita pembunuh yang taubat itu?
Ya, kalo mau diibaratkan sih, niat itu rel dan apa yang kita kerjakan itu keretanya. Kalo kereta udah punya jalur rel, maka kecil kemungkinan kereta bakal jalan di luar jalur. Kecuali kalo kecelakaan.

Ramah Tidak Marah
Ramah? Hmm… kayaknya anak IC identik sama sifat ramah sebenarnya. Ga percaya? Tengok deh, kita punya budaya yang bisa kita banggakan yaitu budaya salam. Meski sekarang udah mulai luntur (ehem… ayo dong, dipergiat lagi ucapan salamnya! Jangan waktu MOS aja kita rajin salam!), namun tetap saja orang luar mengenal IC lewat ini.
Salam itu dekat dengan saudaranya yang lain yaitu senyum. Salam sih emang yang paling utama, soalnya di dalamnya mengandung doa. Nah, tapi salam tuh ga asik tanpa senyum. Salam tanpa senyum? Hambar rasanya dan kelihatannya kurang ikhlas gitu! Kesannya orang itu tuh jutek banget, senyum sedikit aja ga mau, iya kan? Pelit amat!
Lagipula, senyum itu ibadah, kan? Jadi, luangkanlah sedikit sisa tenaga buat menarik kedua mulut kita untuk membentuk sebuah senyuman. Beneran deh, ga rugi kok!
Kedua, kurangi marah! Marah itu menghabiskan energi kita! Marah membuang orang yang mendengarnya sakit hati! Marah membuat masalah tambah runyam! Marah? Ga banget deh!
Hehehe… sebelum kita marah, ada baiknya kita menempuh jalur baik-baik dulu. Jangan asal marah-marah aja!
Terus, energi marah kita itu bisa disalurkan buat hal-hal yang bermanfaat lo! Kalo kita marah, ambil aja pensil terus bikin cerpen tentang hal yang menimpa kita itu! Wow, dijamin hasil ceritanya lumayan en dramatis abis! Hehehe… ya iyalah, based on the fact gitu lo! Bisa dikirim tuh ke redaksi majalah. Jika dimuat, dapat honor terus traktir teman-teman! Wah, jadi happy ending, kan?
Masih banyak cara untuk menyalurkan marah secara positif. Yang di atas tadi Cuma salah satu contohnya aja, kok!

Menghormati Guru
Guru? Digugu dan ditiru. Pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi kok killer ya? Terus nyebelin lagi! Uurrgghh…!
Hehehe… akhwat IC, akhwat IC (sambil geleng-geleng kepala)! Butuh waktu berapa lama lagi sih untuk membuat kalian dewasa dalam menyikapi permasalahan hidup (waduoh, bahasanya berat bo!)?
Akhwat IC, guru adalah pintu ilmu bagi kita. Tanpa mereka, kita ga bakalan bisa mengenal dunia dan sesisinya. Tanpa mereka, kita ga bakalan mempunyai bayangan tentang harapan kita. TANPA MEREKA, KITA ADA TAPI TIADA (karena kita ga mengetahui apakah sebenarnya dunia yang kita tempati ini). Buku emang bisa memberikan kita ilmu, tapi buku berbeda dengan guru. Buku ga bisa ditanyai, buku ga bisa diajak berdiskusi.
Yang buat Qawat sedih adalah, makin ke sini, guru semakin ga dihormati. Beliau-beliau semakin sering diumpat, dicela, dighibahi. Bukan sekali-dua kali Qawat menangkap basah ada di antara kita sedang mengungkapkan kekesalannya pada guru sambil mencemooh. Naudzubillahi min dzalik… mulai dihilangkan tuh, kebiasaan kayak gitu! Ga baik!
Untuk masalah ini, Qawat Cuma berpesan satu hal, hormati guru kita walaupun ia telah menjadi musuh kita. Setidaksukanya kita kepada guru, penghormatan kepada mereka tetaplah hal yang wajib dikerjakan oleh murid mereka. Guru dalam hal apapun, yang kita anggap ga penting sekalipun. Lewat merekalah, kita bisa dinaikkan derajatnya di hadapan Allah karena ilmu yang mereka berikan kepada kita.

Ga Ribut di Masjid
Dari dua puluh empat jam yang Allah beri ke kita, percaya ga kalo kita meluangkan lebih banyak waktu untuk urusan dunia daripada urusan akhirat? Padahal kita tahu bahwa kehidupan yang lebih abadi ya adanya di akhirat.
Di waktu-waktu sempit inilah, harusnya kita memaksimalkan keberadaan kita saat di masjid, untuk bersujud kepada-Nya, untuk bermunajat kepada-Nya, bukan sekedar untuk menghindari poin.
Karena itulah, saat kita sedang wirid atau baca Al-Quran, mbok ya betul-betul dimanfaatkan gitu lo! Jangan ngobrol aja. Beneran deh, ngobrol itu masih bisa dilakukan di tempat manapun di IC ini. Di kamar, di kelas, di kantin, di mana-mana, asal bukan di masjid saat wirid dan ngaji.
Wirid dan ngaji itu kan menghadap Allah. Mohon benar-benar dikhusyu’i, dinikmati. Minta ampun atas segala dosa-dosa kita. Dengan mengobrol, kita tuh mengganggu orang lain yang ingin khusyu’ lo! Jadi, bukannya ampunan yang kita dapatkan, jangan-jangan malah dosa kita bertambah. Bagitu juga kalo udah iqamat. Sst… volume suaranya tolong dong dikecilin!
Naa… kalo semua tenang kan, semua senang. Yang doa bisa khusyu’, yang ga ngobrol juga bisa tambah pahalanya. Subhanallah!

Memaafkan Orang Lain
Tips terakhir dari Qawat dalam edisi kali ini adalah kita harus belajar untuk memaafkan orang lain. Kenapa?
Iya, Qawat tahu, sulit untuk memaafkan orang lain, apalagi kalo salahnya udah besar banget sama kita dan sukar untuk dilupakan. Sakit dan perih bercampur jadi satu. Mau ga dimaafkan kok kejam banget, dimaafkan juga nanti dia-nya malah keenakan. Membalas perlakuan “kejam” dia dengan sebuah maaf? Iih… ga lah yaw!
Naa… karena berat itulah, kekuatan maaf itu dahsyat banget! Emang di mana sih kekuatannya? Ya jelas dong, kekuatannya terletak pada orang yang sanggup memberikan maaf itu. Ga mudah lo, mengikhlaskan sesuatu yang telah lewat dan ga bisa diubah serta berdampak buruk bagi kita.
Qawat mau cerita lagi nih! Pernah suatu ketika, saat Rasulullah sedang bercengkrama dengan sahabat-sahabatnya, ada seseorang lewat di depan mereka. Nabi berkata, “Ia adalah calon penghuni surga”. Salah satu sahabat yang bercengkrama dengan Rasul bingung dan bertekad ingin mengetahui, amalan apa yang dilakukan oleh orang itu sehingga kedatangannya begitu dinantikan oleh surga.
Menginaplah sahabat di rumah orang itu. Diamat-amati perilakunya. Ga ada amalan istimewa yang dilakukannya. Ia bangun pagi-pagi, shalat Subuh, berangkat bekerja, seperti orang lain. Tengah malam, ia shalat Tahajud seperti layaknya para sahabat Nabi pada zaman itu.
Sahabat yang ga tahan itu akhirnya bertanya, “Amalan apa yang kamu lakukan sehingga kamu dirindukan oleh surga?”
Orang itu menjawab, ”Yang saya lakukan hanyalah memaafkan segala kesalahan orang lain kepada saya sebelum tidur dan melupakan kesalahan mereka.”
Semoga bisa diambil hikmahnya!
Wassalamualaikum!

Sabar dan Syukur (QAWAT edisi ke-12)

Assalamualaikum akhwat IC!
Alhamdulillah, kita sepatutnya bersyukur kepada Allah karena telah diberi nikmat kesempatan untuk bertemu lagi di minggu UAS ini! Wuaahh… akhirnyaa… sampai juga kita ya di penghujung semester ganjil ini! Selama 6 bulan ini, apa aja ya, yang udah kita kerjakan, baik yang terpuji maupun yang tercela? Terus udah seefektif apa kita memanfaatkan waktu yang ada? Buat belajar atau berleha-leha? OK, kayaknya akhwat IC udah pada tahu jawabannya semua yaa… hehehe…
Nah buat minggu UAS ini, gimana kalo kita membahas tentang sabar dan syukur aja? Kenapa Qawat mau membahas ini? ‘Coz ternyata Qawat lihat, masih banyak yang udah mengerti secara esensi alias harfiah, tapi aplikasinya masih kurang, bahkan belum menunjukkan rasa sabar dan syukur itu. Padahal, kalo akhwat IC tahu, sabar dan syukur itu modal awal kita dalam mengarungi kehidupan ini (cieee…). Iyalah, coba kalo ga sabar, pasti banyak di antara kita yang udah keluar dari IC saat ini karena ga tahan sama kondisi yang ada. Begitupula kalo kita ga bersyukur, kata “alhamdulillah” itu mungkin udah ga ada lagi di muka bumi dan ga bakalan ada lagi doa-doa yang kita panjatkan selepas shalat.
Dalam menghadapi UAS juga gitu! Kita butuh banget kedua amunisi ini, baik ketika belajar, ketika UAS-nya itu sendiri maupun ketika melihat hasil dari UAS. Ada yang kecewa, yang dituntut untuk bersabar tapi ada juga yang senang, diharuskan untuk bersyukur. Namun kenyataan emang ga semudah teori. Banyak dari kita yang kalap ketika menghadapi kedua kondisi di atas. Yang gagal ya merasa sedih berkepanjangan, yang senang malah hura-hura ga karuan. Padahal, sesuatu yang berlebih-lebihan itu Allah ga suka juga lo…

Separuh dari Iman
Akhwat IC, karena kalian adalah akhwat cendekia (halah!), pasti ada yang pernah dengar deh ungkapan seperti ini, kalo sabar dan syukur itu adalah separuh dari iman. Why? Kenapa ya, kok bisa sabar dan syukur itu separuh dari iman? Apa yang spesial dari mereka? Qawat mau coba jawab nih! Insya Allah, pengetahuan kalian bertambah deh setelah baca ini!
Ehem, kembali ke permasalahan. Jadi gini, akhwat IC sebagai Muslimah kan pasti memeluk satu agama. Ada yang tahu? Ya benar Islam. Ada yang tahu Islam itu arti asalnya apa? Apa? Ga ada yang tahu (hehehe… bercanda!)? Nih, Islam itu artinya “pasrah”. So, Muslim dan Muslimah itu dikatakan sebagai “orang yang pasrah”. OK, kita tebak-tebakan lagi! Arti iman ada yang tahu? Yup, secara bahasa iman artinya “percaya”. Jadi, Mu’min itu artinya apa? Ya, udah pasti “orang yang beriman” dong! Sip! Lulus, ga usah remedial! Hehehe…
Ya, sekarang mari kita gabungkan keduanya. Pasrah, kalo kita menilik lebih jauh, kita adalah orang-orang yang memasrahkan diri kita kepada Allah semata. Bagi kita, ga ada tempat lain buat kita untuk memasrahkan diri selain Allah. Sebab Allah-lah tempat kita bergantung dan mengadu akan kehidupan kita.
Sementara itu di dalam Islam, kita diajarkan untuk percaya kepada 6 hal utama dan yang paling pertama adalah percaya kepada Allah. Allah-lah tuhan kita, Allah-lah tempat bermula dan Allah-lah tempat berakhir dari segala yang fana di dunia ini.
Intinya, pasrah kepada Allah tanpa percaya sama Allah itu ga bisa! Beneran ga bisa! Lah, gimana bisa kita mau memasrahkan diri sementara tempat kita untuk berpasrah aja ga jelas. Sama, ga mungkin banget terjadi kita percaya akan adanya Allah dan ketentuan-ketentuan-Nya tapi kita ga mau pasrah terhadap apa-apa yang telah dibuat-Nya tersebut, padahal kita kita tahu kita hanyalah makhluk yang lemah, yang ga punya kuasa apa-apa. Itu namanya kita belum percaya sepenuhnya akan janji-janji Allah, meskipun kita tahu janji-janji Allah itu ga pernah bohong.
Sabar dan syukur itulah indikatornya! Kalo misalnya kita bersabar ketika kita susah, secara otomatis pasti kita akan pasrah, tapi akan sulit jadinya kalo kita disuruh untuk percaya. Contoh, kalo orang terkena musibah, ia pasti lebih gampang untuk merasa pasrah dan ga berdaya tapi justru sulit untuk membuat ia percaya bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. Kebalikannya, kalo orang lagi senang, lulus TB ga ikut remedial for example, ia akan lebih mudah menerima bahwa Allah memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya namun sukar baginya untuk berpasrah kepada Allah (dalam hal ini bersyukur) dan berkata bahwa ini semata-mata adalah kehendak Allah. Orang yang seperti itu dinamakan kufur nikmat, seperti Fir’aun yang mengatakan bahwa kejayaannya adalah hasil kerja kerasnya sendiri karena ia mengangkat dirinya sendiri sebagai tuhan. Naudzubillahi min dzalik…

Kok Sulit ya?
Gals, jadinya udah pada tahu kan kenapa sabar dan syukur itu merupakan separuh dari iman? Agak ribet sih penjelasannya! Tapi penjelasan di atas insya Allah udah Qawat sederhanakan kok! Mudah-mudahan aja pada ngerti semua, hehehe…
Setelah kita tahu bahwa sabar dan syukur itu sangat penting dalam kehidupan kita, lanjut ke penerapannya dalam kehidupan sehari-hari!
Setiap Qawat dengar cerita orang yang berkeluh-kesah tentang keadannya yang sekarang, Qawat jadi mikir, bahwa situasi apapun yang diberi ke manusia itu pasti ga ada yang benar-benar memuaskan manusia. Pernah suatu ketika, Qawat dapat dua curhatan dari dua teman yang berbeda dalam jeda waktu yang ga terlalu lama. Yang satu bilang kalo ia merasa kurang puas dengan nilainya yang sekarang, padahal nilainya tersebut ga mengharuskan dia untuk ikut remedial. Satunya lagi berkata bahwa dia depresi dengan nilainya yang sekarang, yang remedial terus walaupun dia udah belajar dengan serius dan mati-matian.
Qawat jadi geli sendiri, ternyata sabar dan syukur itu ga segampang teori. Benar-benar ga mudah untuk melaksanakannya, karena bertentangan dengan nafsu kita yang inginnya selalu meminta lebih.
Seperti yang juga kita udah tahu bersama bahwa nafsu kita itu perlu dikontrol. Nafsu apa aja, mulai dari nafsu marah, nafsu makan, nafsu harta, apa aja! Nah, untuk nafsu yang satu ini, pengontrolnya adalah sabar dan syukur.
Bayangkan aja, kalo misalnya di dalam diri kita benar-benar ga ada sama sekali yang namanya sabar dan syukur. Setiap hari diri kita ini bakalan dihantui rasa cemas karena diri kita merasa ga cukup dengan apa yang kita punya. Hidup ga enak, tidur pun ga tenang karena memikirkan bagaimana kita harus terus menambah yang kita punya.
Berbeda dengan orang yang memiliki rasa sabar dan syukur yang ikhlas. Meskipun ia tetap ingin yang lebih namun ia yakin bahwa di atas semuanya ada yang mengatur. Sehingga hidupnya tenang dan merasa cukup. Apabila ia diberikan sesuatu yang ga enak menurut dia, maka ia akan bersabar dan terus berusaha untuk mendapatkan apa yang ia mau dengan berkeyakinan bahwa Allah pasti akan mengubah suatu kaum apabila kaum tersebut mengusahakan perubahan itu. Pada akhirnya, hatinya menjadi tenang dalam berikhtiar karena percaya akan janji Allah tersebut. Orang seperti ini bisa berikhtiar sekaligus menikmati hidup dengan ketentraman hati dan jiwa.
Susah? Ya emang susah. Makanya, kalo ada orang yang benar-benar bersabar dan bersyukur, wah… two thumbs up deh! Salut! Keren banget! Kalbunya tentram sebab ia telah mendapatkan separuh iman, sementara iman adalah apa-apa yang harus kita percayai dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat. Akhwat IC pasti mau dong, jadi orang seperti ini?

Jalan Terjal ke Surga
Sabar dan syukur… hmm… rasanya sejuk banget kalo hati kita benar-benar diliputi keduanya. Wuiihh… hati kita bakal cool meskipun berbagai kondisi dan situasi menimpa kita.
Friends, tapi yang namanya setan, kayaknya ga kurang kerjaan tuh, godain manusia terus. Namanya udah bersumpah dari zaman baheula alias dari zaman Nabi Adam, ya dia bakalan ganggu kita hingga hari kiamat tiba buat mengumpulkan teman yang bakalan menemani dia di neraka kelak. Makin tinggi keimanan dan ketaqwaan seseorang, makin canggih juga yang mau menggoda orang tersebut! Jangan salah lo! Yang godain kyai-kyai itu ga sama dengan yang godain preman pasar. Seperti kata pepatah, makin tinggi pohon, makin kencang anginnya, gitu!
Apalagi orang seperti kita ini, masih perlu banyak belajar untuk bersabar dan bersyukur. Masih banyak yang harus kita lalui untuk membuktikan diri kita di hadapan Allah bahwa kita adalah orang yang tangguh dalam ketaatan kepada-Nya. Masih terlalu dini bagi kita untuk menganggap diri kita itu udah sabar dan syukur.
Kalo ada yang bilang bahwa kesabaran udah mencapai batasnya, berarti orang tersebut harus introspeksi, harus muhasabah lebih sering lagi. Harus merenungi sifat-sifat Allah yang terus membuka pintu maaf dan ampunan bagi hamba-hamba-Nya yang berbuat dosa. Padahal, dosa yang dilakukan kita kan ga sedikit. Tapi Allah masih terus membuka pintu ampunan-Nya, maghfirah-nya, bahkan di saat-saat tertentu pintu itu terbuka dengan sangat lebar. Seperti di 2/3 malam terakhir di mana merupakan waktu yang mustajab dalam berdoa, kita bisa minta ampun sama Allah atas dosa-dosa kita selama ini. Ada lagi Islamic Great Sale di bulan Ramadhan yang bisa mengalahkan pamornya Singapore Great Sale apalagi Jakarta Great Sale. Semua orang yang memeluk Islam di seluruh dunia datang berbondong-bondong mensucikan diri di bulan ini. Coba, gimana lebih ga menggiurkan dari SGS dan JGS kalo semua semua dosa kita dihilangkan? Ga pake persentase, semua dibabat habis, bo!
Inilah yang seharusnya menjadi bahan perenungan kita. Di tengah hingar-bingar keramaian, di dalam pergaulan kita dengan sesama teman, dengan padatnya aktifitas kita sehari-hari, apakah kita udah termasuk orang yang bersyukur lahir dan batin? Apakah kita lebih sering mengeluh daripada menyebut “alhamdulillah”? Apakah hati kita masih diliputi dengan rasa iri dengan keberuntungan orang lain? Entahlah, tapi Qawat yakin, jalan kita masih panjang, masih banyak yang belum kita tahu dan kita masih harus terus belajar. Dan walaupun apa-apa yang kita mau belum semua kita dapatkan, minimal bersyukurlah karena kita masih diberikan kesempatan untuk bersyukur.
So, bersabar dan bersyukurlah!
Selamat menempuh UAS!
Fa inna ma’al ‘usri yusra
Inna ma’al ‘usri yusra

Wassalamualaikum!