Minggu, 02 September 2007

Kasihnya yang Terlupakan (QAWAT edisi ke-31)

Assalamualaikum akhwat IC!
Alhamdulillah, di tengah kesibukan IC yang seabrek selesai juga Qawat ini di tulis! Apa kabar akhwat IC? Duh pada senang nih, udah TB-4 sih nyantai deh… ups… remednya gimana (hahaha…)? Ya udah… masih ada waktu buat remed dan nyicil untuk UAS kok! Ok?
Hm… mungkin akhwat IC pada bertanya–tanya tentang topik Qawat kali ini, mau bahas apa sih? Insya Allah kali ini Qawat bakal mengangkat judul Kasihnya yang Terlupakan, kasihnya siapa ya? Hayo… ada yang tahu ga? “Nya” yang dimaksudkan di sini adalah sosok yang secara ga sadar sangat menyayangi kita, namun kita terkadang sering mengabikan kasihnya yaitu ayah.
Soalnya kan artikel–artikel banyak banget tuh yang membahas tentang ibu, nah makanya kali ini Qawat mau menyeimbangkan hal tersebut membahas sosok seorang ayah…

Masalah yang begitu banyak, mulai dari nilai, teman, dan hati, membuat kita akhwat IC terkadang sedih, jatuh, (oh… tidak…!). Selain teman, tentunya kita juga sering bicara dengan orang tua kita, lewat telepon misalnya, lantas ketika telepon tersambung ke seberang sana, siapakah orang yang pertama kali kita tanya?
“Bik, ada ibu ga?” atau ketika telepon tersebut langsung diangkat oleh ibu, kita langsung bicara panjang lebar, terkadang teringat untuk bicara pada ayah di detik–detik terakhir saat pembicaraan akan diputus, atau setelah puas bicara dengan ibu, baru bertanya ada ayah ga? Atau ibu kita yang mengingatkan, “Nih… ayah mau ngomong… (iya ga sih demikian?)”.
Nah… kok bisa begitu ya? Apakah karena sosok ibu yang teramat dekat dengan kita dengan sifat yang lembut ramah dan tahu banget siapa kita yang membuat kita care dan nyaman buat cerita semua masalah hanya kepada ibu saja atau merasa sungkan en malu sama bapak buat cerita yang aneh-aneh. Misalnya nih, ehm… ehm… lagi tertarik dengan lawan jenis. Nah pasti kalau berani ngobrol dengan orang tua larinya ke ibu, sangat jarang untuk masalah perasaan seperti ini konsultasinya ke ayah. Kenapa? Banyak jawaban untuk pertanyaan ini, tentunya akhwat IC sendiri yang tahu.
Lantas, keadaan yang demikian ga kemudian membuat kita lebih banyak mencurahakan segalanya pada ibu daripada ayah. Hmm, mau tahu kenapa? Karena… flashback sebentar yuk…

Saat Pertama Mendengar, Ia-lah yang Paling Bahagia
Saat ibu kita menyampaikan berita kehamilannya, ayah adalah orang yang paling bahagia. Iya apa? Tapi ada kok yang menyuruh istrinya mengugurkan kandungan (ye… itu mah bukan ayah namanya dan belum bisa jadi ayah malah?)?
Yups… mungkin kita bisa bertanya pada ibu kita, “Bu, gimana reaksi ayah waktu tahu Ibu hamil?” Banyak cerita untuk ini, ada yang sujud syukur, gembira, langsung menelepon kerabat terdekat, dan lain–lain karena ga ada kata lain bagi seorang ayah yang mampu menggetarkan hatinya setelah asma Allah dan Al-Qur’an selain empat huruf yang muncul dari bibir seorang anak untuk pertama kalinya memanggilnya AYAH.

Orang yang Paling Sibuk Ketika Banyak Hal yang Kau Pinta
Saat ibu kita hamil dan ngidamnya macam–macam, ayahlah orang yang paling sibuk, kadang saat istrinya harus terjaga tengah malam minta ini dan itu, tanpa membantah ia bangun menolong dan memenuhi permintaan ibu kita, baik itu yang ada di rumah atau ia harus mencarinya malam–malam, tengah malam dan di luar rumah pula! Itu semua demi memenuhi permintaan kita yang ada dalam kandungn ibu. Dan itu pun ia lakukan ikhlas demi kesehatan anaknya. Saat ibu kita mual dan muntah–muntah dalam keadaan yang lemah, ia pun juga demikian. Rasa sakit dan iba mengisi hari–harinya. Namun satu hal yang mampu membuatnya menghilangkan kekhawatiran tersebut, ia akan menjadi seorang ayah.

Orang yang Paling Khawatir Saat Kelahiran Kita
Detik–detik kita mau melihat dunia, ibu sedang berjuang antara hidup dan mati, namun ada jantung diluar ruangan atau di samping ibu kita yang sedang berdegup kencang, khawatir, menunggu, takut, tegang menanti kelahiran bayi mungil yang akan memanggilanya dengan sebutan ayah, yang akan mengisi hari–harinya sebagi seorang ayah, yang akan mengagumi dan menjadikannya sosok teladan sebagai seorang ayah. Kekhawatiran yang begitu besar atas keselamatan kita dan ibu kita amatlah berat, saat sosok yang kita panggil ayah ini harus memilih antara istri dan anaknya siapa yang harus diselamatkan, jika terjadi hal-hal yang ga diinginkan terjadi.

Orang yang Pertama Kalinya Bahagia Saat Kita Lahir Ke Dunia
Oek… saat tangisan kecil itu mengisi dunianya yang baru, beliaulah orang yang sangat bahagia. Kini, orang yang akan memanggilnya ayah telah terlahir ke dunia, berjuta harapan ia tanamkan seraya mengazankan kita dan mengecup kita dengan lembut. Yah, sebuah tangisan yang mampu menghapus semua kegundahan, lelah, khawatir, sejak berita kehamilan ibu kita.



Orang yang Sering Kita Usik dengan Tangisan Kita
Tengah malam, saat semua mata terlelap kita mulai usil konser sendirian, yang akhirnya membangunkan ayah dan ibu kita, seolah-olah dalam tangisan kita, kita mengajak mereka mendengar konser akbar kita sambil ganti popok, ayah dan ibu kita bagi tim kerja yang shift–shift-an. Ga pernah terlontar kata dari mulut seorang ayah saat anaknya konser tengah malam, ”Huh, anakmu berisik!” atau “Ganti popok kan tugas seorang ibu!”, namun tanpa kata–kata ia langsung menimang bayinya dan mengganti popok.

Ketika kita dewasa banyak hal yang membuat hubungan kita terkadang jauh dengan seorang ayah, membuat kita ga seakrab kepada ibu, apa ya sebabnya?

Sosok yang Ga Mudah Menunjukkan Rasa Sayang
Ya itulah seorang ayah, saat anak–anaknya udah beranjak dewasa, justru sifat seorang ayah menjadi sosok yang begitu wibawa, sedikit bicara, dan ga sering menunjukkan rasa sayangnya seperti kita waktu kecil dulu. Orang yang sangat sulit untuk mengucapkan atau mengutarakan kasihnya pada anak–anak. Namun untuk yang satu ini kita pun sebagai anak saatnya untuk mengerti dan memulai sesuatu terlebih dahulu. Menyapa, meminta pendapat, dan menjalin komunikasi sebaik–baiknya, sebab di hatinya yang terdalam, sungguh ia amat sayang pada kita

Kesibukannya Ia Lakukan untuk Kita
Dalam keluarga, sosok ayah juga sosok yang terkadang jarang di rumah, untuk mendengar celotehan kita tentang teman dan hari–hari kita yang menyenangkan atau teman–teman yang membosankan. Akan tetapi sekali lagi, hal itu menuntut kita utuk mengerti bahwa apa yang ia lakukan demi anak–anaknya, agar anak-anaknya bisa sekolah, berpendidikan, menjadi sosok yang lebih dari dirinya. Sebab, dari nurani seorang ayah, mereka pun ingin meninggalkan pekerjaan sehari aja untuk bercengkrama dengan keluarganya.

Sosok yang Diamnya Bukan untuk Ditakuti atau Dianggap Kaku
Yah, terkadang kita malas atau takut bercerita tentang teman–teman atau hal-hal sejenisnya pada ayah, dengan alasan mungkin, “Ayah terlalu kaku, ah… takut dimarahin…” atau “Ayah kan idealis banget orangnya…”, atau kita menganggap sosok ayah bukanlah sosok yang ingin mengurusi hal–hal sepele seperti masalah kita.
Tapi sesungguhnya, dalam hatinya mereka pun ingin sekali ditanyai, dimintai pendapat, oleh putri mereka atau anak–anak mereka. Mereka juga manusia, pernah mengalami proses seperti kita. Karena hal tersebut, ga jarang kalo bicara sama ayah terkadang menyangkut urusan yang macamnya berita – berita kayak masa depan, jurusan, sekolah, karier, dan lain – lain.


Sosok yang Marahnya Bukanlah Sebuah Kebencian
Di keluarga, seorang anak terkadang lebih segan dan takut dengan marahnya seorang ayah. Apakah karena sosok yang elegan, yang biasanya diam, dan telah lelah namun tiba–tiba karena kesalahan kita mampu membuatnya marah, yah itulah yang terkadang kita rasakan. But, percayalah marahnya orang tua bukanlah sebuah kebencian melainkan nasehat, yang kata–katanya ga tertata rapi seperti puisi.

Ayah, sosok yang terkadang terabaikan kasihnya, sosok yang membuat kita segan, sosok yang sepertinya jauh, sosok yang kita anggap idealis, ga mengurusi hal–hal sepele, ya itu semua adalah frame yang entah karena proses apa bisa tertanam dalam pikiran kita.
Ayah sama seperti ibu, sama–sama menyayangi, sama–sama ingin berbagi kasih, sama–sama ingin diperhatikan, sama–sama ingin anaknya lebih baik dari pada mereka. Oleh sebab itu, mari kita mulai , kita tunjukkan rasa cinta kita pada mereka, tentunya dengan menjadi anak yang shalehah dan ga membuat semua pengorbanan mereka sia-sia (meskipun mereka ga pernah bilang begitu).
Seperti yang dikatakan dalam hadis Abdullah bin ‘Abbas ra menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Jika seorang anak yang saleh menunjukkan cinta dan kebaikannya kepada ayah dan ibunya, Allah mencatat pahala untuknya setara dengan menunaikan ibadah haji.” (HR. Baihaqi)
Wassalamualaikum! (Putri Rahmi M.)
Intermezzo Sesaat
Begitulah Cara Allah Membagi
Suatu hari, empat orang murid Nasruddin mendapat hadiah sekantung permen. Mereka mendatangi Nasruddin dan meminta untuk membagikan permen itu secara adil.
“Baiklah,” kata Nasruddin. “tetapi, mana yang kalian pilih, pembagian dengan cara Allah atau pembagian dengan cara manusia?”
“Dengan cara Allah, tentu saja,” jawab murid-muridnya spontan.
Nasruddin membuka kantung permen itu dan memberikan dua genggam permen pada seorang muridnya, satu genggam permen kepada yang lain, hanya dua butir permen pada murid yang lain, dan murid yang keempat tak mendapat satu pun.
“Pembagian macam apa ini?” murid-muridnya bertanya dengan heran.
“Begitulah cara Allah membagi,” jawab Nasruddin. “dia memberikan seseorang dengan berlimpah, yang lainnya sedikit, dan ada yang tak mendapat apapun. Jika tadi kalian memintaku membagi dengan cara manusia, tentu aku akan membagikannya dengan jumlah yang sama pada setiap orang.” (sumber: 360 Cerita Jenaka Nasruddin Hoja)

Tidak ada komentar: