Minggu, 02 September 2007

Dan Atid pun Menangis (II) (QAWAT Last edition from LIA)

Inilah QAWAT terakhir yang diterbitkan oleh DIORAMA ANDALUSIA 17, tapi jangan sedih dulu, masih ada QAWAT edisi depan yang diterbitkan oleh DIORAMA yang baru.

Pukul 12.00
Bel panjang berbunyi disusul gema suara azan,
dan seluruh umat manusia terhenti dari pekerjaannya.
Tuk menghadap Tuhannya,
Tuhan yang Maha Mulia, Tuhan yang Serbabisa.
Derap langkah kaki bergema sepanjang koridor,
bergaung, berlomba menuju Masjid,
tanda keikhlasan yang abadi dari seorang hamba kepada Tuannya.
Fulanah tidaklah berbeda.
Dengan tawa berderai, berjalan bersama teman-temannya.
Entah apa yang diperbincangkannya, mungkin hanya basa-basi belaka.
Melepas sepatu, menuju tempat wudhu.
Saling menyapa, masih dengan deraian tawa.
Bertanya tentang TB, seberapa sulitnya TB itu.
Tentu saja, dengan deraian tawa.
Menaiki tangga, memakai mukena.
Shalat, entah khusyuk atau tidak.
Yang jelas, selepas shalat Fulanah langsung mengobrol kembali dengan temannya.
Merencanakan sesuatu, entah apalah itu.
Berdua mengangguk tanda sepakat,
melipat mukena cepat-cepat.
Menuruni tangga, padahal ada yang sedang bertausyiah di depan mimbar.
Gelak tawa dan keributan terjadi saat turun tangga dan memakai sepatu.
Padahal ada yang sedang bertausyiah di depan mimbar.
Berdiri, bersiap-siap menuju kantin seakan-akan akan mengejar angin.
Padahal ada yang sedang bertausyiah di depan mimbar!
Dan Rakib pun bertanya, ”Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang bahkan menghargai kawannya sendiri ia tak sudi? Jikalau cara menghormati sesamanya ia tidak tahu, apalagi menghargai semesta alam? Padahal manusia adalah khalifah yang bertugas memimpin peradaban di bumi.”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 16.35
Murid mana yang tidak senang apabila tiba saatnya pulang?
Di kelasnya yang sedang berlangsung pelajaran terakhir,
Fulanah duduk dengan gelisah dan ketidaktenangan.
Melirik jam sesekali, mencolek temannya yang masih asyik menekuni buku Fisika.
Mengajak mengobrol, namun tak berhasil.
Membaca buku, tak konsentrasi.
Akhirnya, berdentanglah suara itu.
Wajah Fulanah mendadak ceria.
Memasukkan buku, membereskan alat tulis.
Bersenandung kecil, tanda keriangan hati.
Kembali menuju Masjid, tuk menunaikan ibadah Ashar.
Kali ini ia sempat berdoa, namun tidaklah lama.
Melipat mukena, merapikan jilbab sejenak di kaca.
Berlari-lari kecil menuruni tangga.
Menoleh ke kiri dan ke kanan, seakan-akan mencari sesuatu.
Memakai sepatu dengan cekatan, mengambil langkah seribu.
Terdengarlah panggilan untuk dirinya diumumkan dari Masjid.
Nyatanya, Fulanah tidak datang.
Ia malas, ingin segera balik ke asrama.
Tak tahulah Fulanah bahwa kedatangannya sangat dinantikan oleh teman-temannya.
Mereka sangat kecewa karena ketidakhadiran Fulanah.
Urusan mereka terhambat hanya karena Fulanah seorang.
Dan Rakib pun bertanya, ”Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang memenuhi hak saudaranya ia tidak mampu? Bagaimana mungkin ia bisa memenuhi hak rakyat jika hal kecil seperti ini tak ia latih dengan baik?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 18.00
Maghrib datang menjelang.
Tampak baju shalat yang berwarna-warni.
Maha Suci Allah yang telah menciptakan begitu banyak warna, menyajikan keindahan yang tiada tara.
Fulanah tak kalah modis dengan bajunya.
Pas dan serasi benar dengan dirinya.
Namun ada yang janggal dari bajunya.
Ya, tetap menutup aurat.
Benar, masih dalam koridor kesopanan.
Tapi lihatlah, ketat benar bajunya.
Seakan-akan kekurangan bahan, seakan-akan ia ingin menunjukkan tubuhnya.
Lihatlah lagi, masih ada yang aneh dengan jilbabnya.
Memang menutup dada, namun gampang tersingkap. Menerawang pula.
Dan Rakib pun bertanya, ”Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang untuk keamanannya sendiri ia malas memperhatikan?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Di Masjid, seperti biasa.
Shalat Maghrib berjamaah.
Bersama-sama merapatkan shaf,
tanda kesatuan umat dalam menghadapi tantangan hidup,
demi kejayaan Islam di waktu mendatang.
Bersama-sama mengikuti gerakan imam,
tanda ketundukan terhadap penguasa yang shaleh lagi bijaksana.
Bersama-sama sujud di hadapan Allah,
tanda penghambaan makhluk yang lemah lagi fana.
Bersama-sama mengucap salam ke kanan dan kiri,
tanda doa bagi sesama.
Bersama-sama melafalkan wirid,
tanda permohonan untuk kemudahan dunia-akhirat.
Tidak demikian adanya dengan Fulanah.
Setelah salam, ia ke shaf paling belakang.
Bukan demi kekhusyukan dalam berdoa.
Ternyata ia berkumpul dan mengobrol dengan teman-temannya yang lain.
Mengganggu kenikmatan berdoa orang lain. Mengganggu sekali.
Tapi mereka tidak sadar,
atau malah jangan-jangan memang sengaja tidak menyadarinya?
Bahwa berdoa butuh ketenangan susana.
Bahwa berdoa butuh konsentrasi dan kesungguhan hati.
Namun mereka tetap saja mengobrol!
Dan Rakib pun bertanya, ”Inikah yang pantas menjadi khalifah, yang dalam sehari telah menyepelekan Tuhannya berkali-kali?” gusar sekali kedengarannya.
Kemudian, Rakib melanjutkan, ”Bahwa ia tidak menyadari, ada yang lebih berkuasa di atas mereka.”
”Mereka manusia, Rakib, tidakkah dirimu ingat bahwa manusia punya sifat lupa dan salah?” Atid berbicara setelah sekian lama.
”Lupa? Lupa? Seberapa lupakah mereka kepada Tuhannya yang begitu mengasihinya sampai-sampai untuk berterima kasih saja mereka lupa?Bersyukur saja mereka lupa! Tidakkah kau bayangkan, betapa tidak berterimakasihnya makhluk yang bernama manusia itu? Pantaskah mereka menjadi khalifah, kutanya? Pantas tidak?”
Atid terdiam, ia tidak sanggup berkata apa-apa.
Pukul 00.00
Kabut mulai turun di Insan Cendekia.
Wajah malam menampakkan dirinya yang gelap dan dingin.
Angin berhembus, menghajar pepohonan yang tegak berdiri.
Hiruk pikuk suasana siang hari,
telah terganti oleh redup dunia yang menenangkan jiwa.
Sayup terdengar helaan nafas dari segenap penjuru.
Hampa terasa, sunyi suasana.
”Atid temanku, marilah kita ambil hikmah dari perjalanan kita kali ini. Jawablah pertanyaanku, janganlah engkau diam saja seperti itu. Ingatkah kau, mengapa dulu kita beramai-ramai menyembah Adam, sang manusia pertama?” tanya Rakib.
”Ah Rakib, tentu saja kutahu. karena mereka bisa menyebutkan segala sesuatu yang kita tidak mengerti. Mereka diberi kepandaian oleh Allah untuk mengetahui segala sesuatu, sedangkan kita tidak. Kepandaian itu diperlukan untuk menangkap ilmu, sedangkan ilmu itu diperlukan untuk menjadi seorang khalifah.”
”Benarkah perkiraanku, bahwa sekiranya khalifah itu harus pintar?”
”Ya, harus. Bagaimana ia mau memimpin jika ia tidak pintar?”
”Benarkah perkiraanku, bahwa sekiranya khalifah itu adalah orang yang menaati perintah Allah dan mengingat-Nya setiap saat?”
”Benar, tidak ada keraguan tentang perkara itu.”
”Mengapa Allah memilih makhluk yang pandai tapi tidak tunduk sepenuhnya kepada-Nya?”
”Maksudmu?”
”Ya. Tidakkah kau melihat, Atid. Di sekolah yang penuh dengan orang-orang yang pintar ini, mereka belajar agama, tapi tidak mengamalkannya. Mereka mengetahui perintah yang termaktub dalam Al-Qur’an tapi tidak mengindahkannya. Mereka berkata bahwa mereka tidak bisa menyebut satu per satu pemberian Sang Khaliq tapi jarang mengingat-Nya dalam sanubari mereka. Mereka tahu kalau perbuatan mereka salah tapi mereka tetap melakukan, seakan-akan Tuhan mereka buta-tuli. Mereka berkata ingin memajukan agama mereka tapi mereka tidak khusyuk dalam shalat dan doanya serta gampang menyepelekan sesuatu.”
Atid terdiam.
”Bagaimana Atid temanku? Apa yang terjadi pada mereka sehingga mereka bisa seperti ini?”
”Mereka seharusnya dapat mendekatkan mereka kepada Allah. Semakin banyak ilmu yang mereka raih, semakin pula seharusnya mereka menyadari tanda-tanda kekuasaan Allah yang tiada terbilang. Semakin pula mereka menyadari bahwa diri mereka adalah fana, suatu ketidakabadian yang nyata. Semakin pula mereka bertambah tunduk kepada-Nya.”
Atid tergugu sejenak.
Angin berhembus kencang.
”Sayangnya mereka tidak menyadari hal itu,” Atid melanjutkan.
Kabut semakin menebal.
”Mereka tidak menyadarinya.”
Dan gerimis pun menghujam.
”Sungguh mereka tidak menyadarinya.”
Hela napas Fulanah terdengar.
”Mereka hanyalah makhluk yang tidak sadar akan dirinya sendiri.”
Dan Atid pun menangis.

Insan Cendekia, 17 Agustus 2006 - 17 Agustus 2007
.: Diorama Andalusia 17 :.

Tidak ada komentar: