Sabtu, 01 September 2007

Berhasilkah Ibadah Kita? (QAWAT edisi ke-23)

Assalamualaikum akhwat IC!
Alhamdulillah, kita bisa ketemu lagi! Hehehe... di bulan Maret yang membuat kita makin sibuk ini (apalagi kalo bukan GAKIC yang diadakan tiap sore itu), akhwat IC masih diberikan kenikmatan untuk terus menikmati dan merenungi hidup ini, tentu aja dibarengi dengan ibadah dong! Beneran lo, kita tuh bisa dibilang beruntung kalo kita benar-benar menyadari apa hakekat hidup ini. Untuk apa kita hidup dan untuk siapa kita hidup. Coba, berapa banyak orang di luar sana yang mengaku-ngaku dirinya beragama Islam tapi ga mengerti untuk apa ia diciptakan di dunia serta kepada siapa ia akan kembali pada akhirnya. Pokoknyaaa... akhwat IC tuh beruntung, bisa bersekolah di sini. Bisa belajar Islam lebih banyak daripada teman-teman antunna yang lain! Yaaa... walaupun IC ada kekurangannya juga, tapi percaya deh, Allah akan selalu memberikan yang terbaik kepada hamba-hamba-Nya. Hayo, pada yakin ga nih? Insya Allah, ya!
Kalo kita membicarakan prestasi, pasti sangkut pautnya sama keberhasilan. Nah sementara, tolok ukur keberhasilan hidup setiap orang tuh beda-beda, ya ga sih? Pada setuju, kan? Ada orang yang menganggap dirinya berhasil apabila ia telah menyekolahkan anaknya hingga jenjang tertinggi. Ada lagi yang menyebut bahwa yang ia lakukan sebuah prestasi jika ia berhasil meningkatkan taraf hidup keluarganya. Macam-macam, lah! Banyak banget, sih!
Sementara di sisi lain, kita tahu kalo manusia itu ingin berhasil dalam bidang apapun, sejauh yang ia bisa. Kalo bisa berhasil dunia dan akhirat, ngapain pilih salah satu? Hehehe...

Indonesia Now
Waduh, kayak nama acara berita di TV! Rada plagiat, ya? Eh, tapi ini betul, kita mau membahas keadaan Indonesia yang saat ini lagi terpuruk dan ga habis-habisnya dirundung duka karena musibah yang terjadi di mana-mana ini! Hmm... inikah tanda-tanda kiamat udah dekat (bukannya semakin hari kita emang semakin dekat dengan kiamat, ya?)? Wallahualam, friends! Semoga kita bukan umat yang ditakdirkan untuk hidup waktu kiamat. Soalnya, seburuk-buruknya umat itu, yang masih hidup saat kiamat tiba.
Back to the real problem, kita sebenarnya bukan mau membahas musibahnya. Yang lebih tepat, kita mau membahas kondisi Indonesia yang berkenaan dengan sikap para pemeluk agama Islam yang ga lain dan ga bukan adalah mayoritas di sini.
Di Indonesia, setiap tahun, jamaah yang diberangkatkan haji oleh pemerintah (baik ONH biasa maupun plus) itu jumlahnya bisa mencapai jutaan lo, saudari-saudari! Iseng-iseng, kalo lagi musim haji (sayang nih, udah lewat!), perhatikan deh, berapa banyak embarkasi yang dipersiapkan untuk calon haji dan satu embarkasi dalam menampung banyak kloter. Belum lagi, satu kloter itu hanya bisa ditampung sama pesawat yang muatannya banyak itu. Kebayang kan, berapa banyak haji dan hajjah dari Indonesia tiap tahun!
Namun, walaupun banyak dari mereka telah berhaji lebih dari sekali, kenapa Indonesia tetap menjadi salah satu negara terkorup di dunia?
Emang ada hubungannya? Eits, jangan salah! Qawat pikir, antara haji dan korupsi punya korelasi yang cukup nyata kok. Nih, kalo semua orang yang telah berhaji itu benar-benar mengetahui esensi dari ibadah tersebut, pasti sikapnya akan berubah, biarpun sedikit-sedikit. Kenapa? Ya, karena harusnya keimanan kepada Allah bertambah. Berhaji gitu lo, biayanya mahal dan ga semua orang bisa melakukannya.
Lagi-lagi kenyataan ga seindah teori. Ga sedikit orang yang telah pergi berhaji, sikapnya yang buruk sama sekali ga berubah. Ada artis yang telah berhaji, waktu habis dari Mekkah sih bajunya menutup aurat. Tapi, beberapa bulan kemudian, wusss...! Video klipnya, bo! Naudzubillahi min dzalik!
Itulah sebagian kecil potret yang menimpa anak negeri. Bagaimana mereka menjalankan ibadah haji, bukan karena kesungguhan yang nyata, namun semata-mata karena ingin mengejar popularitas. Haji dijadikan sarana untuk lepas dari masalah-masalah yang diungkit-ungkit oleh pers (seperti artis tadi yang naik haji, kebetulan ia sedang tersangkut dengan suatu masalah dan berbalik seratus delapan puluh derajat, dengan memakai pakaian Muslimah dan menanggalkan baju seksinya, tapi hanya untuk sementara. Setelah perkaranya selesai, ia kembali memakai bajunya yang lama).
Padahal, bukan tujuan itu yang Rasulullah maksudkan ketika mengajarkan praktek berhaji, lebih dari empat belas abad silam. Rasulullah menunaikan ibadah haji semata-mata karena Allah, bukan untuk mencari popularitas, apalagi menjadikan haji sebagai pelarian dari masalah.

Simbolisme Agama
Seperti ayat yang telah akhwat IC hapal semua, yaitu Adz-Dzariyat: 56, salah satu guna dari diciptakannya manusia di muka bumi adalah untuk menyembah Allah, atau di ayat itu disebut sebagai ibadah.
Bentuk ibadah kita, juga ditentukan caranya. Ga bisa sembarangan juga, kita beribadah kepada Allah itu. Semua ada aturannya, semua ada caranya. Orang Indonesia kalo soal cara sih jago, hapal di luar kepala malah. Bagaimana tata cara berwudhu yang baik atau apa aja yang harus kita lakukan saat berhaji. Berapa persen dari harta kita yang harus dizakati hingga keutamaan puasa sunnah.
Kita semua tahu itu, gals! Pertanyaan baru timbul dari sana, bagaimana kita bisa tahu ibadah kita itu berhasil apa ga? Apakah kita mesti tahu dulu, berapa perolehan pahala dan dosa kita, baru bisa ibadah kita dikatakan berhasil?
Nope, my friends! Wacana ibadah itu ga sesempit yang kalian duga, Cuma berhubungan sama dosa-pahala, neraka-surga. Ibadah yang kita lakukan sehari-hari itu punya makna luas dan dalam, terkait dengan akhlak kita yang biasa kita terapkan dalam kehidupan nyata.
Sebetulnya, guna ibadah itu sendiri ialah mendekatkan diri kita kepada Allah, ya kan? Contoh kecil, jika ada orang yang tertimpa masalah, ia akan berdoa memohon pertolongan Allah. Nah, doa itu kan bagian dari ibadah serta suatu bentuk usaha kita untuk mendekatkan diri kepada Allah agar kita dikuatkan dan diberi bantuan oleh-Nya dalam menghadapi cobaan tadi.
Dari cerita di atas, akhwat IC dapat mengambil kesimpulan bahwa semakin sering seseorang beribadah, semakin dekat dirinya dengan Allah dan semakin terjaga sikapnya. Sebab, setelah ia lebih dekat dengan Allah, ia akan lebih merasa dilihat oleh-Nya di manapun ia berada. Jadi, ga ada yang namanya coba-coba cari dosa di dalam diri orang yang merasa dekat dengan Allah tadi. Makanya juga, kenapa ada ungkapan “shalat itu tiang agama”, ya karena demikian tadi. Orang yang banyak shalat (shalatnya khusyu’, lo!), akan bisa membangun Islam disebabkan orang tersebut berkarakter mulia, suatu keuntungan yang jelas karena kedekatannya dengan Allah.
Tujuan awal yang baik, kan? Makin ke sini, banyak nilai-nilai Islam yang mulai bergeser, dikikis sedikit demi sedikit oleh pengaruh Barat.
Menurut Barat, urusan ibadah dan muamalah itu ga berhubungan. Ibadah ga boleh mempengaruhi urusan duniawi, hanya ukhrawi aja yang boleh diurus. Pemisahan ini terjadi karena kekecewaan mereka terhadap institusi Gereja pada masa lampau, di mana Gereja turut mempengaruhi keputusan-keputusan yang bersifat zalim yang dibuat oleh raja (revolusi Perancisnya tolong dibuka lagi, ya!). Akhirnya, pemisahan terjadi agar keputusan yang dibuat oleh pemerintah bisa sesuai dengan kemauan rakyat dan ga terkukung sama dalil-dalil yang memberatkan, dibuat oleh Gereja. Mulai saat itu, agama hanya dijadikan simbol belaka.

Islam Emang Keren!
Islam sebagai agama yang sempurna, ga demikian adanya. Islam ga mengenal adanya pemisahan seperti itu, karena kehidupan di dunia adalah tiket kita menuju akhirat. So, kehidupan dunia juga harus baik supaya kita mendapatkan kehidupan akhirat yang baik pula. Di mata Islam, dunia dan akhirat terkait dengan erat, seperti dua sisi sebuah kepingan uang logam.
Cuma, kitanya aja nih, sebagai generasi penerus Islam, malah terjebak dengan apa yang dilakukan oleh Barat tadi. Kita terwarnai oleh pemikiran mereka, lewat idealisme yang mereka bawa (ghazwul fikri). Kita ikut-ikutan gaya hidup mereka, memisahkan urusan duniawi dan akhirat.
Shalat sih shalat. Di Masjid, berjamaah lagi. Tapi ghibah jalan terus, tanpa berusaha untuk mengubah diri. Puasa Senin-Kamis iya, namun mojok alias berdua-duaan tetap terlaksana, seperti ga ada beban. Asmaul Husna hapal di luar kepala, tapi sikap menghargai sesama teman nyaris ga ada, kalo ga bisa dibilang nihil.
Bertentangan kan, dengan apa yang akhwat IC baca semula? Sepertinya, ibadah bagaimanapun ga berefek sama orang-orang ini. Mau shalat sebanyak apapun, ga bisa mempengaruhi hati mereka untuk berghibah. Puasa serajin apapun, ga bisa mengekang nafsu mereka. Mau diperdengarkan sifat-sifat Allah lima kali sehari juga tampaknya ga memperhalus lisan mereka dalam mengomentari teman sendri.
Inilah sebenarnya, parameter keberhasilan ibadah yang kita lakukan. Apabila ibadah yang kita lakukan berhasil, kita semakin dekat dengan Allah dan semakin berat untuk berbuat maksiat. Gampang kan? Ga perlu tahu seberapa banyak pahala kita kalo mau tahu apakah kita berhasil dalam menjalani ibadah kita. Tentu aja, yang Qawat maksud di sini adalah ibadah yang sungguh-sungguh, bukan hanya sebagai simbol peneguh status kita sebagai Muslimah atau untuk mengejar popularitas.
Kalo untuk akhwat IC sih, semestinya ibadah-ibadah yang kita jalani sekarang nih, bisa membentuk akhlak yang baik serta membentuk mental baja dalam menangkis serangan-serangan dari musuh-musuh Islam.
Jangan berleha-leha, kawan! Jalan kita masih panjang! Yuk, mulai benahi diri kita dari ibadah kita. Luruskan niat dari sekarang, lillahi taala, dalam setiap aspek kehidupan. Kalo ghibah, mojok dan ceng-cengin orang itu ga ada sangkut pautnya dengan lillahi taala, ya dijauhi, dong!
Susah untuk terus istiqamah, itu pasti. Banyak cobaan yang menimpa kala kita ingin memperbaiki diri. Semakin sulit untuk terus berusaha menjadi orang baik dalam kondisi tertekan seperti ini (ya iyalah, lha wong setannya makin canggih!).
Keep fighting! Bertahanlah terus berada di jalan yang lurus! Ingatlah pesan Allah bahwa, “Siapapun yang menolong agama Allah, maka ia akan ditolong oleh Allah”. Keep this message, gals! Insya Allah, kita semua dapat melewati masa-masa sulit seperti saat ini. Hehehe... mukanya jangan pada serius gitu, dong! Jangan lupa senyumnya, ya!

Wassalamualaikum!

Tidak ada komentar: