Sabtu, 01 September 2007

Andai Kau Tahu, Dirimu Begitu Hebat! (QAWAT edisi ke-29)

Assalamualaikum akhwat IC!
Alhamdulillah, kita akan memasuki TB-4! Hehehe… pasti pada senang semua kan? Ya iyalah, udah di akhir tahun pelajaran gitu lo! Yang kelas XII tinggal menunggu hasil, yang kelas X dan XI, ya… emang sih masih berjuang lagi. Well, tapi ga apa-apa. Cuma emang ga terasa aja, kayaknya baru kemarin kita mengadakan MOS, eh sekarang udah mau naik kelas aja, udah mau punya adik baru lagi. Cepat sekali, ya!
Di minggu “penghabisan” ini, Qawat mau mengetengahkan isu seputar menghargai diri. Bukan narsis, lo! Ya semacam narsis sih, tapi tepat kadar. Narsis yang islami (hah, ada gitu narsis islami? Ngaco aja nih!). Hehehe… maksud dari menghargai diri sendiri itu artinya melihat kelebihan di antara kekurangan yang kita punya.
Emang aneh sih. Biasanya kan orang tuh membicarakan seputar kekurangan diri agar kita berintrospeksi. Eits, tapi jangan salah! Perlu lo, tahu kelebihan diri sendiri.
Perempuan itu punya hati yang lembut, yang ini pasti udah pada tahu. Meskipun dalam kesehariannya kita melihat ada perempuan yang “garang”, namun fitrahnya mereka tetaplah seorang perempuan. Dan ternyata, hati yang lembut ini punya dua sisi yang berlawanan.
Sisi positifnya, kita gampang berempati sama penderitaan orang lain, mudah memaafkan, dan mudah untuk mepercayai orang lain. Pokoknya, gampang tersentuh deh, intinya! Walaupun sebagian dari kita terlihat seperti acuh tak acuh.
Negatifnya juga ada! Nah, ini dia yang ingin Qawat bahas. Itu lo, suka menyalahkan diri sendiri. Waduh, ini emang bad habit yang bad banget. Ga boleh tuh, sebenarnya! Mau tahu kenapa?

Gejala Menyalahkan Diri
Sebagai perempuan, kita dikaruniai sesuatu yang lebih dalam hal kepekaan ataupun segala sesuatu yang ada hubungan dengan hati, karena itu pula ga sedikit dari kita kaum hawa yang mudah sekali merasa bersalah. Bersalah dalam hal apa? Ya… dalam hal apapun , bahkan bukan kesalahan kita, namun kita sering menyalahkan diri sendiri.
Misalnya di asrama, sore–sore baru pulang sekolah kita lagi capek–capeknya tiba–tiba teman sekamar kita pulang dengan muka yang cemberut, terus keesokan harinya juga masih cemberut, kita tentu bingung, waktu dia ditanyai, dia malah tambah cemberut dan diam aja. Wah… tambah bingung kan? Terus tanpa disadari kita langsung bertanya pada diri kita sendiri, nih anak kenapa? Apa salah gue ya?
Nah ini nih… yang ga boleh… kenapa ya? Ya… bukannya ga boleh berempati sama teman, tapi kalo bukan salah kita ya… cukup berlaku tenang dan menghapus segala rasa bersalah tersebut dari diri kita.
Masih ada lagi lo, bentuk-bentuk penyalahan diri kepada diri kita sendiri. Mau tahu lagi, ga?

Membuat Frame Negatif untuk Diri
Nah… yang satu ini sering banget Qawat dengar… apalagi kalo musim TB, UAS, dan kawan-kawannya. Secara ga sengaja akhwat IC banyak yang memberikan frame negatif untuk dirinya sendiri, dengan ucapan, “Gue bodoh banget” atau “GILA… mana bisa gue ngerjain itu, gue goblok banget di bidang itu” atau bahasa inversnya “Bisa lah gw…”, “Gue kan pintar ba… nget”.
Nah, ternyata setelah diadakan penelitian oleh para ahli, memberi gelar buruk bagi diri sendiri, itu berdampak besar bagi mental dan semangat untuk berusaha. Tapi kalau emang ga bisa gimana? Yah dengan cara bertahap kita harus percaya sama diri sendiri bahwa kita itu bisa, secara berproses tentunya, dan kalau pun kita benar-benar ga bisa itu ya kita pun harus haqqul yaqin bahwa kita itu hebat, di bidang lain tentunya. Yah, tinggal kita bicara pada hati kita bidang apa itu?
Selain mencari bidang yang cocok untuk kita tekuni, lebih lanjut kita belajar juga untuk menerima kelebihan dari orang lain. Bagi sebagian orang, mengakui kelebihan, usaha, dan menghargainya adalah hal yang susah. Lo, kok susah? Emang iya, untuk bisa mengakui kelebihan orang lain, kita harus berusaha untuk mengalahkan ego kita sendiri.

Aku Ingin Seperti Dia
Krisis percaya diri yang sering terjadi pada diri kita sendiri juga membuat kita terkadang secra tidak sengaja nyeletuk, “Mau deh kayak diya!” atau ngomong ke orangnya langsung, “Gue pingin deh kayak elo… anggun, tenang bawaannya, dan pendiam”.
Lantas karena kita ingin menjadi demikian yang pada dasarnya bukan kita banget, kita usaha mati–matian, yang awalnya kita ceria dan heboh dengan kata lain gak bertentangan dengan syariat Islam, lalu tiba–tiba kita berubah menjadi si pendiam yang duduk manis di dalam kelas. Wah… justru itu menyiksa diri kita sendiri dan ga heran kalau teman–teman kita nyeletuk, “Tumben… ga berisik?”. Yah pokoknya, selagi apa yang ada dalam diri kita itu baik, nyaman bagi diri kita, dan orang yang ada di sekitar kita, dan itu ga bertentangan dengan nilai–nilai Islam kenapa mesti menjadi orang lain?
Pernahkah kita berpikir, saat kita ingin menjadi seseorang yang kita kagumi karena diamnya dia, dalam hatinya pun mengatakan andai ia bisa seceria kita yang membuat kita mampu membaur dengan siapa saja, maka hanya satu kata BERSYUKUR atas kelebihan dan sisi positif yang kita punya.
So, be yourself aja! Ga ada gunanya tuh, menyamakan sifat yang kita punya dengan sifat orang lain, asalkan sifat kita itu ga melanggar norma-norma yang melingkupi kita.
Kalo perasaan ini terus bermunculan, ingat aja kata-kata Sir Ipik, our lovely history teacher, “Perbedaan itu bagai pelangi. Kalau putih semua, bukan pelangi namanya.”
Subhanallah!

Kita Hebat, Euy!
Hehehe… narsis lagi nih! Deu… boleh dong! Di bagian terakhir ini, Qawat mau menggambarkan betapa jadi perempuan zaman sekarang, ga ubahnya seperti srikandi yang tangguh menghadapi apapun juga. Hohoho… mau bukti?
Pertama, konsistensi kita dalam berjilbab. Bagi Qawat, akhwat IC bisa mempertahankan jilbabnya sampai sekarang dan akhir hayat nanti, baik di dalam maupun di luar IC, merupakan sebuah kelebihan yang ga ternilai harganya. Lebih tepatnya, pengorbanan terhadap beberapa kenikmatan dunia. Jadi, tetap istiqamah ya, sebagai seorang Muslimah… dan STOP menyalahkan diri sendiri! Paling ga, selama kita masih memakai jilbab, kita masih berharga sebagai seorang Muslimah, sebagai seoorang perempuan lebih tempatnya.
Kedua, kesabaran seorang perempuan dalam menghadapi lawan jenisnya. Baik dalam hal yang pekerjaan, maupun… ehem… ya tahulah apa? Hehehe… pada tahu kan artinya? Sebagai partner, kadang-kadang kita suka bertemu dengan partner yang susah diajak kerja sama dan susah buat dinasehati. Untuk urusan hati, kita juga dituntut Supaya bisa mengendalikan hawa nafsu, melalui penjagaan pandangan. Tuh, kita hebat kan?
Ketiga, kalo kita udah jadi seorang ibu nanti, kita pasti bakalan jadi supermom! Why? Hmm… Qawat berani bilang, kalo banyak dari akhwat IC yang ingin mempunyai dua peran sekaligus, menjadi seorang ibu dan seorang wanita karir. Berat banget lo, ternyata menjalankan keduanya. Menjadi ibu rumah tangga, berarti menjadi manager rumah. Ya mengurus anak yang beragam wataknya, mengurus suami, mengurus menu masakan, mengurus kebersihan rumah, dan mengurus orang tua yang telah lanjut usia. Jadi wanita karir? Wah, lebih besar lagi pengorbanannya, tuh! Mengejar cita-cita dan aktif di luar rumah. Kesemuanya itu harus berjalan beriringan. Apa ga hebat tuh, kalo semuanya bisa berjalan dengan baik, walau selalu ada hambatan yang merintangi?
So gals, kita hebat! Ayo, kita mulai menghargai diri kita, mulai saat ini juga! Belajarlah untuk ga terus menerus menyalahkan diri sendiri dan menerima diri kita apa adanya.

Wassalamualaikum!
(Putri Rahmi Mardius)







Intermezzo Sesaat
Lelaki Acuan Al-Quran
Lelaki acuan Al-Quran ialah seorang lelaki yang beriman
Yang hatinya disaluti rasa taqwa kepada Allah SWT
Yang sentiasa haus dengan ilmu
Yang sentiasa dahaga dengan pahala
Yang salatnya adalah maruah dirinya
Yang tidak pernah takut berkata benar
Yang tidak pernah gentar untuk melawan nafsu
Lelaki acuan Al-Quran adalah lelaki yang menjaga tutur katanya
Yang tidak bermegah dengan ilmu yang dimilikinya
Yang tidak bermegah dengan harta dunia yang dicarinya
Yang sentiasa berbuat kebaikan kerana sifatnya yang pelindung
Yang mempunyai ramai kawan dan tidak mempunyai musuh yang bersifat jembalang
Lelaki acuan Al-Quran ialah lelaki yang menghormati ibu bapaknya
Yang sentiasa berbakti kepada kedua orangtua dan keluarga
Yang bakal menjaga keharmonisan rumah tangga
Yang akan mendidik anak dan isteri mendalami agama Islam
Yang mengamalkan hidup penuh kesederhanaan
Kerana dunia baginya adalah rumah sementara menunggu akhirat
Lelaki acuan Al-Quran sentiasa bersedia untuk agamanya
Yang hidup dibawah naungan al-Quran dan mencontohi sifat Rasulullah SAW
Yang bisa diajak berbincang dan berbicara
Yang sujudnya penuh kesyukuran dengan rahmat Allah ke atasnya
Lelaki acuan Al-Quran tidak pernah membazirkan masa
Matanya kepenatan kerana kuat membaca
Yang suaranya lesu karena penat mengaji dan berzikir
Yang tidurnya lena dengan cahaya keimanan
Bangun subuhnya penuh dengan kecerdasan
Kerana sehari lagi usianya bertambah penuh kematangan
Lelaki acuan Al-Quran sentiasa mengingati mati
Yang baginya hidup di dunia adalah ladang akhirat
Yang mana buah kehidupan itu perlu dipertahankani dan dijaga
Meneruskan perjuangan Islam sebelum hari kemudian
Lelaki acuan Al-Quran ialah lelaki yang tidak mudah terpesona
Dengan buaian dunia
Kerana dia mengimpikan Syurga
Disitulah rumah impiannya
Bersama wanita acuan al-Quran
(sumber: internet, dengan perubahan)

Tidak ada komentar: